Pages

26 April 2011

ilalang…

Dunno why, i luv ilalang…
Tidak ada kurasa orang akan mengatakan dia cantik. Dia tidak wangi. Dia bisa melukai. Dia tidak menarik perhatian orang. Tidak akan ada orang yang akan sengaja menanamnya di halaman rumah. Tidak ada juga orang yang akan menggunakannya untuk mengatakan cinta.

Aku masih ingat pagi menjelang siang itu, kala kami akan segera meninggalkan lokasi KKN. Anak-anak dusun itu terlihat berkerumum di depan rumah kepala dusun, tempat kami tinggal selama satu bulan ini. Mereka mencariku. Aku terkejut saat tangan-tangan kecil itu menggenggam sesuatu. Mereka semua menyerahkannya padaku….ilalang…


Aku tersenyum. Mereka mengerti, mereka mengamati. Di dusun ini bunga mawar tumbuh dengan subur seperti semak belukar tanpa perlu ditanam. Keindahan mawar beragam warna agaknya adalah daya tarik bagi siapa saja yang datang pertama kali ke desa-desa di kaki Merbabu ini. Jika mereka memberikan aku ilalang, alih-alih mawar…Oh, aku merasa sangat…sangat tersanjung, artinya bocah-bocah kecil ini melihat dan memperhatikan.Ku genggam erat ilalang itu ditangan, sampai mereka terhilang dari pandangan.
Aku menyukai ilalang entah sejak kapan. Mungkin sejak lama sekali, sejak aku menggunakannya untuk menghiasi kartu-kartu mungil.

Ilalang mengingatkanku pada sebuah kekuatan yang tak terbatas. Manakala surya pagi menyeruak dan membakarnya, dia berdiri kokoh tanpa pernah layu. Jika hujan turun dan mengisi sela-sela lembut bunganya, dia tak pernah merunduk. Dia mengatasi apapun.

Manakala aku menangisi keberadaanku, ilalang mengingatkanku pada kesepian, kesendirian dan ketidakbergantungan. Saat langit dengan semburat ungu datang disertai rintik hujan, wangi tanah yang bercampur dengan keringatnya terus memaksaku untuk kembali kesuatu masa dimana sunyi dan sepi itu adalah keindahan tiada tara, bersama bintang-bintang, bersama binatang malam, bersama jalan-jalan panjang. Dia tidak pernah mengeluh, Dia mengatasi apapun.

Aku marah!! Aku menggugat kemapanan semesta yang tak adil. Dengan kepala yang terus berpikir untuk menyerang dan meradang aku berlari menembus malam, berteriak pada keadaan…tinggalkan! tinggalkan! tinggalkan aku! Jangan pernah membuat aku setia padamu, engkau tuan yang tidak ku kenal! sejuta pernyataan  itu berkecamuk di dalam dada, tidak ada yang berniat menjawabnya…namun jika ku longokkan kepalaku ke kaki-kaki bukit dingin di bawah sana, ada ilalang yang lamat-lamat bernyanyi lagu senja dengan tangkai yang bergoyang karena angin. Dia tak pernah menyerah. Dia mengatasi apapun.

Aku kehilangan banyak hal, dan yang terbanyak adalah waktu. Namun segenggam ilalang di tangan terus mengingatkanku pada semuanya…tangis dan tawa dalam hidupku. Seperti kartu merah dan hitam yang kususun, seperti tarianku saat gerimis senja, seperti gelak kemenanganku yang sudah-sudah.
…………………………………………
Aku berkata dunno why, i luv ilalang…Seolah aku mengatakan entah mengapa aku jarang merasa menang, jarang merasa hebat, nistanya jarang merasa bisa, namun aku menyukai gelap ini, sepi ini, dan bersyukur. Aku tersenyum setelah menulisnya, entah mengapa aku melakukannya, hanya ingin saja.  Namun seorang teman yang baru saja kutangkap sesaat lalu datang dan membuat sesungging senyum lagi dibibirku.

Dicky: ilalang rumputnya belalang…tempatku mengucap katakata lancang tanpa arti, hanya karena aku dikatai jalang oleh mereka

Melyan:  saat kau ada dihamparan mawar, kau katakan kau mencinta meski cinta berduri dan menyakiti.. saat kau berkecimpung di lautan teratai, kau katakan kau mencintai hidup dan kan mengarunginya walau berujung jeram.. saat kau berhadapan dengan ilalang, mengapa kau mendendam? tapi itulah indahnya…dia tumbuh tak terganggu, dimana saja, kapan saja, karena bagiku dialah kesederhanaan yang bersahaja tanpa batas….

Dicky:  aku mendendam karena iba dengan kemanusiaanku, ini sulit dan melawan kodrat. aku suka mawar…tapi duri ilalang lebih tajam daripada cintaku yang termakan kesederhaanmu…mengapa?

Melyan:  jika saja kau mencinta kesederhaanku, ilalang… yang tak akan kau temukan pada apapun…bukan justru mengiba demi rasa kemanusiaan yg bisa kau beri pada siapa saja…mungkin kau akan tau dan pantas bertanya MENGAPA. Jika saja itu nyata, ingin sekali aku menjawab…karena aku ilalang dan karena kau cinta padaku. Pada apa yang ada padaku…saatku dingin di kaki Merbabu, saatku panas di pinggiran jalan, saat ku hancur ditebas, saat ku disanjung oleh sebagian orang, saat aku merasa apa saja…

Dicky:  inilah kehidupan.
ilalang yang merasakan seluruh inderanya berteriak karena angin, karena matahari, karena debu panas. sedangkan aku mawar yang tak puas dengan MENGAPA, dengan nyata dan jawaban yang disembuyikan ilalangku. .ternyata kau sama sepertiku, hancur oleh sebagian nafsu orang lain sekaligus mencair karena tersanjung oleh nafas penjilatpenjilat matahari (mereka bisa saja menyanjung kita sekaligus membakar kita, kau ilalang dan aku mawar berduri, kapan saja)..
kita masih sama dan akan merasa sama saat kata2 ini tersu merayu malam tanpa ampun…aku haus sayang….jangan tanya MENGAPA, karena aku tidak APAAPA, aku hanya haus…
(Facebook, Februari 2009)

Ya, inilah kehidupan. Hidup yang pedih itu dapat dilukis dengan indah, dan hidup yang penuh gelimang ambisi itu jadi biasa-biasa saja. Sen, bagiku ilalang mampu menasehatiku dengan kelakuannya. Dan selama kita bersyukur atas apa yang kita terima kemaren, hari ini dan nanti, aku rasa kita akan masih sama…benar, kita akan tetap sama, kau mawar berduri dan aku ilalang…ah, tidak…asal kau tahu, setelah kukatakan padamu panjang lebar seperti apa ilalang itu, justru aku tidak berani menjadi dirinya…
Aku menyukai ilalang, aku bukan ilalang, hanya saja aku ingin menjadi ilalang…
Hingga saat ini, bulir-bulir ilalang milik bocah-bocah kecil itu berguguran di samping jendela kamarku dan terus menceritakan romantisme yang pernah ada diantara aku dan semua yang ada disekelilingku. Bersama harapan yang besar untuk selalu tumbuh dan hidup di segala musim dan keadaan.

(Thanks to D. Christian Senda)

4 comments:

  1. begh… dalam..
    no comment…
    just letas we met and share all of it..
    hiiiiiiiiiiiii ^_^v

    ReplyDelete
  2. oscar tango8:20 pm

    wah… tulisanmu sampe ada yg ngajak utk ketemuan dan berbagi cerita…
    hebat…ada yg penasaran…
    hehehehehe…
    ya begitulah bung ISP…
    melyan selalu bikin penasaran tiap orang…
    buntutnya pasti akan ada sedikit perdebatan akan makna hidup dan kehidupan…
    tapi…pasti akan semakin penasaran…
    (ya gak mel???)
    mengapa harus ilalang, mawar, teratai???
    mengapa bukan bintang, bulan, surya???
    mengapa bukan tikus, kucing, anjing???
    .
    .
    hmmm…
    (lagi-lagi…soal sudut pandang manusia…)

    tabik

    ReplyDelete
  3. solitude8:21 pm

    apakah ilalang begitu menyedihkan? persepsi siapakah yang digunakan untuk menghakimi nasib sang ilalang? persepsi sang mawar kah yang mengatakan ilalang tidak cantik? persepsi sang melati kah yang mengatakan ilalang tak harum? persepsi sang padi kah yang mengatakan ilalang tak layak untuk ditanam? atau kah persepsi manusia menyedihkan yang mengatakan ilalang begitu menyedihkan? , mungkin persepsi sang “maha” tahu yang mengotak-atik nasib sang ilalang demi ego nya…

    ReplyDelete
  4. surya bakara8:21 pm

    wau…berita dan presisi tulisan yang menarik…maf,Bakara itu apakah marga Ayah Anda?
    Coz,karena Sy marga Bakara,Toba _Sisingamangaraja_sirajoloan,,,
    bls di FB Saya surya_glory@yahoo.com
    terimakasih sebelumnya,,God Bless You

    ReplyDelete