Pages

24 November 2011

Sembunyi?


Sewaktu kecil aku sangat kecil. Tentu saja ya, maksudku dibanding teman-teman sebayaku, aku tergolong kecil. Kelas lima SD saja aku masih seratus dua puluh lima senti, sementara yang lain mencuat hingga seratus empat puluh. Ada banyak kejadian menguntungkan dengan tubuh kecil ini. Saat bermain petak umpet aku bisa  sembunyi di tempat-tempat yang mustahil termasuk dibelakang punggung teman yang jaga. Saat main civilization, yang jadi raja penguasa adalah anak yang bisa memanjat pohon belimbing—yang dianggap singgasana—tercepat, tentu aku sering jadi penguasa karena naik pohon dengan tubuh kecil itu tidak sulit, yang sulit itu kalau turun dari pohonnya karena aku harus membuang badan akibat kaki tak sampai. Saat main kejar-kejaran, mungkin aku yang paling sulit dikejar karena tubuh yang ringan membuat alam dengan mudah membuatku berlari, terhembus angin. Macam-macamlah, pokoknya enak.

Dari semuanya aku paling suka sembunyi. Jangan salah, bersembunyi itu membutuhkan kepiawaian tingkat tinggi serta kreatifitas juga ya. Dan semakin kita dewasa kita menyadari bahwa kebutuhan kita untuk bersembunyi itu semakin tinggi. Percayalah. Apalagi yang banyak berhubungan dengan debt collector.

Dulu waktu aku masih kecil, mungkin sekitar empat tahunan aku menemukan keindahan persembunyian ini. Aku berbuat nakal sehingga dimarahi Papa dan Mamaku secara berbarengan. Situasi ini sulit karena tidak ada yang pro padaku, aku menangis dan diam-diam masuk ke bawah meja makan. Meja makan kami besar dan ada banyak barang di bawahnya seperti karung beras, kotak-kotak bahan makanan dan sebagainya. Aku tidak berani menangis keras-keras karena aku pasti akan ditarik keluar dari sana sementara yang aku butuhkan adalah sendiri. Aku tertidur disana dan ketika aku terbangun aku mendengar Papa, Mama dan pengasuhku ribut-ribut mencariku. Kekhawatiran mereka itu terasa sekali, Mama mulai menyalahkan Papa sehingga Papa memakai sendalnya dan mencariku ke rumah nenekku dan pengasuhku sibuk mencari ke tetangga. Aku masih diam melongo di bawah meja. Papa pulang dan berkata dia dimarahi nenek, pengasuhku pun pulang tanpa hasil apa-apa.

Saat bersembunyi itu aku merasa banyak hal bisa terlintas dibenakku dengan seksama. Aku bisa memikirkan mengapa tingkah-tingkahku dipandang konyol oleh orang dewasa. Aku lalu bisa melihat apa yang menarik bagi orang dewasa, harga-harga yang naik, kualitas kayu bakar yang jelek, pokoknya segala sesuatu yang mungkin tidak kau “dengar” dengan seksama ketika berada dan terlibat disana. Ketika kau disana, sadar atau tidak yang kau pikirkan adalah apa yang kau mau bukan yang setiap orang mau.

Aku ingin bilang bahwa sembunyi yang kumaksud itu tidak melulu secara harfiah ketika kau berada ditempat yang tidak terjangkau oleh kesadaran orang lain tetapi sembunyi juga saat orang lain tidak menyadari bahwa kau ikut serta secara pasif di dalam suatu situasi. Contohnya, aku sudah terbangun pagi-pagi dan aku tahu bahwa orang tuakupun sudah bangun dan ngobrol sambil tidur-tiduran. Aku mendengar mereka membicarakan anak-anak mereka, bagaimana rencana sekolahnya dan sebagainya. Untuk itu aku tidak membuka mata,aku tetap saja diam dan berpura-pura tidur sampai akhirnya yang aku tunggu datang...mereka membicarakanku! Tentang sekolahku bahkan sampai kenakalanku. See? Sembunyi = Quality Time = Quiet & Thinking. Tentu baik untuk seseorang untuk mengembangkan komunikasi intrapersonalnya.

Just like today, aku merasa sangat penat dan merasa membutuhkan waktu hening sejenak. Aku sudah lama tidak hening. Pulang kerja juga masih melakukan ini itu, persiapan ini itu, bikin tugas ini itu. Aku butuh waktu diam di bawah meja Mamaku. Wanna hide under my mom’s desk, kutulis seperti itu sebagai status di blackberry messenger, seorang teman masa kecil yang sekarang badannya besaaaaaaaarr sekali mengirim pesan singkat. Ilham.S.P: Or behind me?


26 April 2011

Nobody Was Too...

Dia ahli reparasi hampir semua hal. Mulai dari meubel sampai barang elektronik, mulai dari menata ruangan sampai bersih-bersih, semua bisa dilakukannya. Itulah mengapa dia selalu dicari banyak orang. Orang suka mengantonginya dengan makanan atau uang seribu dua ribu setelah “pekerjaan apa saja” yang diberikan padanya itu beres. Siapa bilang dia tak susah? Dia adalah orang yang paling bisa dikatakan susah tetapi dia tak pernah terlihat sedih atau susah, selalu tertawa lepas memamerkan gigi menguning karena rokok yang kontras dengan kulit hitamnya. Belakangan jika aku sedang mengingatnya, aku selalu menamakannya Jack-Of-All-Trades*.

Dia sering membawaku jalan-jalan dengan sepeda mini bapakku. Beberapa kali aku dibonceng dibelakang bersama anak bungsunya menempuh berkilo-kilo hanya untuk melihat helikopter yang sedang parkir disebuah lapangan milik sebuah mining di daerahku. Aku sendiri waktu itu sama sekali tidak antusias melihatnya dan belakangan aku suka berpikir bahwa dialah yang penasaran dengan burung besi itu. Dia mengajakku hanya karena ingin membawa sepeda bapakku.


Pernah dia bercerita, suatu malam saat puluhan penonton bioskop bubar dia dan istrinya yang sedang hamil menggeledah kursi  penonton untuk mencari sesuatu yang mungkin tertinggal. Dia mengaku kadang menemukan uang atau benda-benda lain (tak jarang botol aqua berisi kencing). Bukan bioskop sekelas twenty one sih, jadi orang tidak perlu keluar untuk meludah atau kencing. Well, hari itu dia menemukan selembar lima ratusan dan sebatang kecil coklat. Istrinya memilih uang saja karena pingin beli supermie. Begitulah deal itu terjadi, istrinya pergi membeli supermie sementara coklat itu lumer di mulutnya dalam hitungan detik. Malam itu berakhir dengan tragis, dia jongkok sepanjang malam di parit samping bioskop itu sambil menutup seluruh badan hingga kepalanya dengan sarung, tak peduli siapapun lewat dengan keheranan.
“What the hell he ate?” temanku bertanya dengan wajah bingung.
“Broklat” Jawabku. Ah, temanku tersedak.
Kok bisa ga tau gitu loh kalau itu broklat..”
He can’t read” hening sejenak lalu meledaklah tawa kami.

Ada lagi seorang perempuan korbanku dalam tulisan ini. Dia adalah orang yang menurut seorang guru menjahit adalah orang yang selalu menimbulkan hasrat ingin menampol.
Guru: Kalau lingkar pinggangnya enam puluh delapan maka kamu buat pola roknya dengan menghitung seperempat dari lingkar pinggang itu ditambah dua untuk kup-nya. Berapa?
Si Murid: *hening*
Sepuluh menit kemudian..
Guru: sudah ketemu berapa?
Si Murid: *hening*

Namun begitu, menurut Sang Guru dia adalah perempuan yang amat rajin dan rapi sehingga banyak diberi tugas untuk som dan membuat lubang kancing (dulu membuat lubang kancing itu masih manual..*oh no*)
Suatu ketika bertahun-tahun setelah itu, kami murid-murid sekolah minggu ingin membuat rok lipit berlapis plus baju bodo ala bugis sebagai atasannya untuk seragam perayaan Natal. Kami membuat baju itu pada Si Perempuan ini yang telah bermutasi menjadi The Best Tailor In Town saat itu.

What exactly am I going to say? Banyak orang yang berpikir bahwa kita tidak cukup pintar untuk melakukan ini dan itu yang sesuai dengan keinginan orang sekaligus yang mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Asumsi ini sama sekali tidak membuat kita lebih baik (dan sebaiknya juga tidak membuat kita lebih buruk). Kebodohan-kebodohan kita ditertawakan.

Guru yang mengajar Thomas Alva Edison mengatakan pada Nyonya Edison bahwa “He is too stupid to learn”, Guru yang mengajar Einstein pun mengeluh karena Einstein terlalu banyak bertanya hal-hal yang stupid tapi….apa yang bisa membuat kita pada saat yang sama atau pada saat-saat yang akan datang justru dicari-cari karena ahli dalam hal tertentu? Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang, rumput sama sekali tidak bisa bicara apalagi sekolah.

* if you refer someone as a Jack-Of-All-Trades, you mean that they are able to do a variety of  different jobs.

Teman Baru

Seolah tidak mempercayai ketidakberadaannya, aku membuka-buka kembali semua isi laptopku. Hampir setengah jam dan benarlah kalau aku tidak menemukannya. Berkas-berkas tulisanku telah hilang. Aku ingat beberapa tahun lalu, wanita tokoh emansipasi negeri langit ini mengeluh karena seseorang telah mencuri laptopnya. Dia merasa sangat sedih campur kesal bukan perkara nominal benda itu tetapi karena semua tulisannya, pikirannya dan pekerjaannya telah muntah semua ke dalamnya. Aku juga sudah lupa sejak kapan aku mulai menulis. Seingatku isi buku catatan butut yang menuntut untuk pensiun itu sudah ku wariskan ke dalam laptopku ini dan per hari ini kunyatakan semuanya resmi raib. Direktori C nya sudah dengan sukses di format ulang, diganti dengan angka keberuntungan Si Milyuner tahun ini, se7en. Ah, tak berpanjang-panjanglah aku bercerita tentang berkas itu, hanya menambah kesedihanku saja sementara Si Tengil yang memformatnya cuma bisa senyam senyum ditambah sedikit ekspresi agak menyesal yang menjengkelkan. Masa iya yang diback up hanya source code nya yang aneh dan bejibun itu. “Ah, samalah nasib kita, Inang. Marilah kita mulai lagi dari file pertama dan huruf pertama” kataku dalam hati pada wanita senasib itu.

Hari ini aku punya cukup semangat untuk memulainya lagi. Aku ingin memulainya lagi dengan sebuah perasaan cinta. Setelah aku jatuh cinta pada pria kedua. Well, seorang temanku yang datang dari Kota Waktu memperkenalkan teman prianya  padaku. Awalnya dia hanya ingin memberikan sesuatu yang akan membuatku mengingatnya, yah begitulah tebakanku atau paling tidak dia ingin membalas penyambutanku untuk kedatangannya di Kota Debu ini. Aku menolak. Bagaimanapun menerima sesuatu itu menerbitkan rasa sungkan. Lalu dia berdalih akan menganggapnya sebagai utang, bah diberi saja aku sungkan apalagi disuruh menganggapnya sebagai utang. Tidak, tidak terima kasih. Kita bertemanlah, yang namanya teman itu jarang sekali bayar utang, bagaimana nanti jika aku tak bayar. Apalagi setiap hari kalau bekerja yang aku urus itu jutaan orang yang hobinya utang, cukuplah itu. Ujung-ujungnya dia bilang akan meminjamkannya. Nah, aku tambah bingung. Kau itu hidup di Kota Waktu sementara aku ini di Kota Debu, meski kita sama-sama di Negeri Langit ini tapi persoalan kirim mengirim ini akan membuatku bingung. Sudah tak sempat lagi berdebat, tahu-tahu saat makan malam temannya yang unik tanpa label harga ini sudah ada saja di hadapanku.


“Ini bukan sekuler” Katanya. “Lebih tepat kalau disebut spiritual, yah spiritual kritis.” Lanjutnya dengan senyum kemenangan menikmati kepasrahanku. Aku menatap pria yang dibawanya, ternyata jauh lebih muda dari Si Tua Nietzsche yang pertama kali ditawarkannya. Aku tertawa dalam hati, apakah ini karena efek dari matanya yang salah direparasi itu ya? Masa yang dikenalkan padaku itu justru pria berjari dua belas yang katanya spiritual? Sejak kapan dia doyan membahas hal-hal spiritual padaku? Selama ini di surat-surat panjang kami, tidak sedikitpun hal-hal spiritual itu dibahas karena perbedaan mendasar itu sudah menegaskan diri dari awal sejak kami saling kenal. Apa saat ini dia mau memulainya? Aku simpan saja kelucuan ini, nanti kalau tiba saatnya aku berdua saja dengan pria yang dibawanya ini, akan ku interogasi habis-habisan dan kukembalikan padanya dengan babak belur.

Selama makan malam aku tidak sempat bicara dengan pria spiritual itu, aku asyik saja mendengar temanku bersukacita membicarakan sebelah matanya yang gagal direparasi. Iya, sungguh dia itu bersukacita. Seolah dengan keikhlasannya itu dia telah menerima balasan yang baik. Mataku berkedut, temanku berhasil mentransfer perasaannya dengan baik sehingga mataku ikutan perih begini. Dia tidak berubah, selalu bersemangat selain mempunyai sifat yang kadang membuatku “jengkel” (termasuk kelak saat dia bilang pinjaman ini tidak usah dikembalikan). Dulu aku suka mengatainya dengan sadis karena kesombongannya di MOS (Masa Orientasi Siswa) sewaktu SMA plus karena senyumnya yang enteng mengatakan kami siswa kelas satu hanyalah penggembira saja dalam pemilihan ketua OSIS (mungkin dia tak tahu hati orang berkedut kisruh saat disuruh pidato dilingkungan baru yang asing). Setelah itu kami tidak banyak bicara, hanya dia sudah berubah jadi Tukang Senyum yang bau rantai karbon, mata kiri bertuliskan “AR”, mata kanan bertuliskan “MR”, sementara jidatnya penuh coret moret reaksi kimia. Tapi katanya sekarang dia sudah alih profesi. Sehari-hari mengurusi desain produk-produk utangan yang menarik untuk orang banyak, bah dosanya lebih banyak dari aku, ha, ha, ha. Aku sekadar mengurusi orang-orang yang hobi utang tapi dia yang membuat orang-orang lebih tertarik lagi untuk utang lebih banyak. Dan akhir minggu dia mengajar, transfer ilmu untuk orang banyak. Aku tertawa, ternyata akhir minggulah dia menebus dosanya itu.

Aku membawa pulang pria pinjaman temanku itu, menghabiskan waktuku sepulang kerja selama dua hari untuk menginterogasinya. Aku tak berhasil, alih-alih aku menemui maksud tersembunyi temanku itu (kalau saja temannya ini disuruhnya mempertegas “nilai-nilai kebenaran spiritual”, tak ragu aku akan mengomeli manusia Kota Waktu ini panjang-panjang) tetapi ternyata tidak begitu, aku justru terhanyut oleh kedalaman teman baruku ini. Namanya, Jati. Dia hanyalah seorang pencinta lingkungan yang dibesarkan di dalam lingkungan orang-orang beragama dan “penghayat-penghayat”. Berdiri ditempatnya sendiri dengan semua pikiran kritisnya. Kata-katanya semua hasil kutip sana kutip sini, tapi tak satupun keluar lagi dari mulutnya dengan apa adanya, selalu dengan disertai pengamatannya yang pelik dan kritis.

“Seorang spiritualis-kritis adalah orang yang sadar bahwa kebenaran selalu tertunda. Tuhan selalu merupakan misteri. Seorang spiritualis-kritis adalah mereka yang selalu memikul kebenaran. Karena itu mereka hanya menggunakan cara-cara yang satria dan wigati (bukan dengan memaksakan kebenaran itu dengan jalan kekerasan). Hanya dengan memanggulnya mereka percaya kebenaran itu bisa menyatakan diri. Mereka percaya bahwa kebenaran adalah misteri yang harus mereka pikul selamanya. Sebab hanya dengan memanggulnya misteri itu tidak jatuh ke tanah. Sebab jika misteri itu jatuh ke tanah, kita akan mengiranya sebagai teka-teki yang terpecahkan. Dan kita percaya bahwa jawabannya adalah: Hukum tuhan. Tapi, kau tahu, misteri bukanlah teka-teki. Misteri adalah rahasia yang jawabannya selalu tertunda. Misteri, kawanku, adalah dia yang jawabannya takkan pernah terpegang. Yang menempatkan kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.” Katanya.
“Sederhanakanlah bahasamu, Jati” Kataku.
“Tuhan itu misteri karena Dia tidak mau terjebak dalam kerangka berpikir manusia yang debil. Tetapi berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi lalu kau akan menjadi bukti bahwa jika memiliki iman sebesar biji sesawi saja maka kau akan bisa mencapai puncak gunung tanpa perlu memindahkannya.” Lanjutnya.

Bagiku dia memberi contoh yang baik untuk kita menggunakan pikiran dengan maksimal, itulah yang diberikan pada kita lebih dari sekedar mata yang melihat, hidung yang mencium, bibir yang mengecap, kulit yang meraba dan telinga yang mendengar. Dua hari itu aku hanya mendengar saja semua perkataannya, tidak sedikitpun aku bertanya. Seandainya dia ini wujud nyata, mungkin banyaklah harapan dalam hatiku untuk jatuh cinta, bukan karena semua kebaikannya tetapi kompleksnya sikap yang dia miliki. Aku percaya dia benar-benar spiritualis, spiritualis-kritis. Tidak perlu dia menjadi orang yang skeptis terhadap semua “kebenaran” yang ditawarkan langit dan bumi, tidak perlu juga dia menjadi orang yang mengetahui semuanya tapi tidak menaruh percaya pada satupun “kebenaran” juga. Meski akhirnya Jati mati juga, tetapi kematiannya menjadi ilham  bagi banyak orang dengan caranya sendiri.

Janganlah aku terlalu terbuai dengan teman baruku ini. Dia bukan siapa-siapa. Samalah seperti kita, keberadaannya semata-mata karena penokohan Sang Dalang. Baik buruknya urusan dalang. Aku hanya kagum saja. Kagum pada Sang Dalang yang menokohkan seorang Jati. Cakap sekali dia mengambil alih impianku. Ya, impianku menjadi seorang dalang (yang nyaris kubuang jauh setelah berkas-berkas keramatku hilang).
***
Siang itu aku membaca pesan teks dari temanku, reparasi matanya kali kedua telah berhasil. Meski yang terpancang dimatanya sekarang sudah lensa artifisial tetapi telah membuatnya melihat dunia ini lebih baik. Sekarang predikatnya bukan lagi mata rabun, sudah berubah menjadi mata keranjang. Aku tertawa geli, yang penting mata hatimu masih jernih batinku, sejernih Jati tokoh yang baik itu. Terima kasih untuk perkenalan yang kau pinjamkan ini ya. Salah satu penyebab kita berteman kurasa memanglah karena ada sedikit sikap kritis kita atas perbedaan kita. Dan katamu salah satu penyebab kita berteman baik itu karena hati kita bebas. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini karena kita tinggal di Negeri Langit dimana semua penghuninya adalah dewa (dewa wanna be), semua ingin mencipta, ingin mengatur, ada pula yang ingin merusaknya. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini, biarlah sedikit saja supaya kita tetap berjalan dengan hati rendah di bawah.

(Bilangan Fu)

Nona G

Usiaku sekarang 24 tahun, jadi Aku tahu pasti bahwa Aku bisa berpikir sangat rasional saat mengatakan jawabanku untuk pertanyaan “Apakah dia itu?”. Aku sendiri bingung, bagaimana mungkin Aku bisa memaksa orang lain untuk mengakui bahwa Aku sangat rasional dalam menjawab pertanyaan itu. Sementara orang tertawa hanya dengan melihat pertanyaannya saja.

“Apakah dia itu?”, sungguh mendiang guru bahasaku yang pernah Aku ceritakan padamu sebelum ini pasti akan mengernyitkan keningnya dan membaca kalimat tanya itu dua kali sebelum menarik nafas panjang karena keheranan. Kita sepakat dulu bahwa kata apakah itu adalah kata tanya yang akan kita gunakan untuk menanyakan tentang banyak hal misalnya situasi. Pokoknya kita tidak akan menggunakannya untuk merujuk pada profil seseorang. Lalu sebaliknya kita sepakati juga bahwa kata dia adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang tidak akan kita pakai untuk merujuk pada hewan atau benda mati, selalu merujuk pada profil seseorang. Nah, tiba-tiba Aku dengan segala percaya diri menggabungkannya menjadi “Apakah dia itu?”. Bolehlah kau tertawa,  dan setelah Aku menceritakan asal muasal kalimat tanya itu kau putuskan saja apakah masih ingin tertawa.

“Apakah dia itu?”. Aku bilang bahwa dia itu hantu. Jika di dalam otakmu ada semacam teori yang mengatakan bahwa hantu itu adalah mahluk hidup sehingga tak pantas memakai kata Apakah, maka sampai disini sajalah kita sepakat. Lalu Aku tahu kau akan tertawa lebih keras karena menganggapku tolol untuk tetap menggunakan kata dia sementara Aku sendiri melabelkan hantu itu bukan sebagai mahluk hidup. Untuk hal itu Aku tak punya pilihan, sebab dia muncul didepanku sebagai seseorang bukan sesuatu.


Ada kondisi lain yaitu kau justru berpendapat sama untuk perkara  teknisnya bahwa hantu itu bukan mahluk hidup namun mengatakan bahwa secara praktis hantu itu tidak ada, maka sampai disini saja juga kita sepakat. Walaupun begitu, jujur Aku sangat ingin meyakinkanmu bahwa Aku sungguh-sungguh mengatakannya…hantu itu ada, dan Aku melihatnya.

Nina itu hanya lebih tua lima menit dariku, dia menjulurkan kepalanya lebih dulu ke dunia ini sementara ibuku harus pasrah saat Aku harus datang belakangan dengan kaki terlebih dulu. Dalam banyak hal Aku bisa tak sepakat dengan Nina, tapi dalam hal yang satu ini seratus persen Nina sangat setuju denganku. Hanya Aku dan Nina yang bisa melihatnya.

Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti, aku hanya ingin bercerita saja. Sekarang ini hantu memang banyak dijadikan objek untuk menarik hati pembaca atau penonton. Film-film ber-genre horor mulai dari yang murahan sampai yang paling classy (memang ada hantu classy?), bahkan sekarang sampai ada Reality Show nya…ckckck…ya mungkin memang seperti itu yang lebih bisa kita nikmati sekarang dibanding berita-berita korupsi yang tidak kunjung tamat, beda dengan film horor atau pertunjukkan horor yang pemain atau cenayangnya selalu menang. Sewaktu menulis kata murahan aku sih tidak bermaksud mendiskreditkan siapa-siapa, maksudku hanyalah film atau bacaan yang mengumbar isi perut untuk keluar saja (hantu saja bisa tersinggung melihatnya). Sungguh, aku hanya ingin bercerita apa yang pernah aku alami. Semuanya sangat nyata, tapi kau boleh percaya bolehlah juga tidak. Tidak usahlah kita berdebat.

***
Rumah sewaan kami itu tergolong kuno. Batu penyangganya ada dua belas. Tidak begitu tinggi, cukup hanya tiga anak tangga untuk menaiki rumah. Akupun cukup merundukkan kepala untuk bisa berjalan dibawahnya. Kau bisa bayangkan, kolong rumahku membentuk sebuah ruang. Pada zaman itu orang memang biasa menyimpan ternak disana. Orang tuaku tidak menyimpan ternak, jadi tidak akan menemukan apa-apa selain berbagai macam kelas Arachnid dan kalau sial bisa juga Ular atau Biawak. Meskipun begitu kami tidak pernah merasa takut jika harus masuk kesana demi mengambil uang koin atau boneka kertas (tak pernah Aku punya boneka Barbie) yang kerap jatuh dari sela-sela lantai papan yang bolong karena uzur.

Siang itu kamipun masuk kebawah kolong rumah, kami masuk dari sisi kanan rumah itu untuk mengambil koin dua puluh lima rupiah (tak pernah Aku punya lebih dari itu) yang jatuh. Ya, seketika Aku takjub. Ada seseorang disisi rumah sebelah sana, Aku melihatnya lebih tepatnya Aku melihat kakinya yang indah mulai dari tapak kaki hingga sedikit lutut. Dia sedang mencuci kaki dari tong yang ada disamping tangga naik ke rumah kami, memakai sendal merah. Tak usah pikir panjang Aku tahu itu adalah kaki perempuan muda yang berkulit sangat putih. Aku menggamit Nina dan bertanya mungkin dia tahu itu siapa tetapi Nina hanya mengedikkan bahu dengan tampang sama bengongnya. Lalu sosok itu melambaikan tangannya ke arah kami, mungkin dia berjongkok untuk melakukan gerakan itu tapi kami tetap tidak melihat wajahnya dan telingaku juga mendengar ajakannya untuk mendekat. Aku menoleh pada Nina, dia pun menatapku untuk sebuah persetujuan. “Tidak, Mama tidak mengizinkan kita mendekati orang asing yang tidak kita kenal” kataku.
Meski Aku berkata begitu, ada gejolak yang besar untuk mengetahui wajahnya. Kami keluar dari kolong dan memutuskan untuk berjalan memutar ke sisi kiri rumah melalui halaman belakang, kami tidak akan mengambil resiko bertemu keluarga besar Arachnid jika nekat pergi kesana dengan mengendap-ngendap di kolong.

Seketika Aku terkesiap, tidak ada siapapun disana. Lebih dari itu, nalarku baru saja menyadari bahwa tidak ada tangga naik ke rumahku dari sisi kiri itu. Tong air yang dipakainya untuk mencuci kaki itupun tidak ada dasarnya, hanyalah tempat pembakaran sampah. Hanya ada satu jendela disisi kiri ini, persis ditempat kami melihat kaki seseorang tadi. Lambat-lambat Nina berbisik ditelingAku “Itukan jendela dari gudang kita…”.
Tidak hanya saat itu saja Aku dan Nina melihatnya.

Banyak kesempatan lagi kami melihatnya lagi tetapi tidak sekalipun ketika kami ada disisi kiri rumah itu, hanya dari sisi yang bersebrangan ditambah sedikit rundukkan kepala. Ya, dari kolong itu…dan sampai saat ini juga kami tidak pernah melihat wajahnya. Terkadang dia duduk sendiri ditangga itu, terkadang juga dia menerima banyak tamu dan mereka akan tertawa-tawa riuh rendah. Jika dia sedang menerima banyak tamu maka kami akan melihat berpasang sendal lain di bawah tangga itu. Ada satu kebiasaan yang selalu mereka lakukan sebelum naik ke rumah, yaitu mencuci kaki dari tong pembakaran sampah itu…tentu saja dari sini terlihat banyak airnya.

Oh ya, kau mau tahu apa panggilan kami untuknya? Dia kami sebut Nona. Salah satu penyebabnya karena kakinya sangat putih, sama persis dengan kaki nona Belanda yang sedang menenteng ember susu di kepalanya. Perempuan itu ada di kaleng susu kental manis favorit kami, MilkMaid. Aku agak lupa apakah dulu di kaleng susu itu ada tulisan “Cap Nona” atau tidak yang pasti di daerahku orang me-metafora-kan susu itu dengan gambar dikalengnya. Tadi kubilang itu salah satu penyebabnya kan? Nah, salah duanya, karena teman-temannya yang biasa bertandang itu memanggilnya Nona. Entah itu kebetulan atau tidak.

***

Aku dan Nina punya banyak macam permainan murahan yang bisa kami mainkan. Aku bilang murahan karena memang bukan mainan yang mau dimainkan anak-anak zaman sekarang. Salah satunya adalah permainan yang kami sebut “Kucing-kucing”. Aku kesulitan menemukan istilah yang lebih dikenal untuk permainan ini. Ada daerah yang menamakannya “Bola Bekel” (lafalkan huruf e  yang pertama seperti pada kata seng dan lafalkan huruf e yang kedua seperti pada kata selasa).

          Perbedaannya, biji bekel itu terbuat dari kuningan yang berbentuk seperti siluet Bebek sementara yang biasa kami pakai adalah bekas cangkang kerang Cypraea moneta yang kecil-kecil. Permainan ini hanya membutuhkan 12 biji kerang dan satu bola tenis. Kau genggam biji kerang itu dengan satu telapak tangan dengan bola tenis di atasnya. Untalkan bola tenis itu ke atas pelan-pelan dan serakkan perlahan biji kerangnya, lalu kau harus menangkap kembali bola itu sebelum menyentuh tanah. Langkah berikutnya kau untalkan lagi bola itu dan harus memungut kembali biji kerang itu satu persatu. Putaran pertama hanya satu biji kerang untuk satu untalan, hati-hati jangan sampai bolanya menyentuh tanah. Jika kedua belas biji kerang itu sudah berada dalam genggamanmu maka kau harus menyerakkannya kembali  untuk putaran kedua dan disini harus dua biji kerang untuk satu untalan. Demikianlah seterusnya hingga putaran akhir dimana kau harus meraih kedua belas biji kerang itu dalam satu untalan. Jika bola tidak tertangkap atau ada biji kerang yang jatuh dari genggaman, maka lawanmu yang akan mendapat kesempatan bermain. Siapa yang pertama menyelesaikan putaran akhir dialah yang menang.

Siang itu Aku dan Nina memainkannya, aku yang sedang mendapat giliran. Hati-hati sekali aku melakukannya hingga aku terus bermain hingga putaran ke tujuh. Memasuki putaran kedelapan, aku melihat sekilas sebuah tangan putih Nona melemparkan sesuatu ke arah kami. Aku tidak tahu apa yang dia lemparkan hingga saat Nina tertawa karena ada satu kerang yang terlontar jatuh. Aku bersikeras itu bukan kesalahanku dan mengajak Nina menghitung kerang digenggamanku. Ada 12 kerang…dan ada satu lagi di lantai.

Rasa penasaran itu kian bergejolak, siapa sih yang tidak ingin melihat wajah pemilik kaki dan tangan yang putih mulus itu? Tapi kami tidak pernah berhasil. Setiap kali Papa membersihkan gudang itu yang kami lihat hanyalah ranjang reot, lemari kayu yang telah berbubuk, kursi bobrok, kasur kapuk yang bau karena rembesan air hujan dari atap yang bocor, dan benda-benda lain yang tidak lagi berguna.
***
Itu semua terjadi dua puluh tahun yang lalu. Beranjak remaja Aku dan Nina tidak  lagi melihatnya, bahkan kami sudah pindah dari rumah itu. Sekarang rumah itu sudah direnovasi, tidak lagi ada kolongnya. Walaupun begitu, saat terakhir masuk kesana sebagai tamu aku terheran juga demi melihat semua bagian rumah sudah direnovasi kecuali kamar itu. Dindingnya masih yang dulu, hanya sekarang tidak lagi  berstatus gudang. Sudah dijadikan kamar tidur keluarga.

Papa dan Mama hanya tercenung mendengar ceritaku dan Nina, sesekali terlihat Papa manggut-manggut kecil. Mungkin saja Dia pun sedang mengaitkan berjuta neuron yang menghubungkannya ke masa yang sama. Akhirnya Dia berkata pada Mama, “Ma, siapa nama menantu muda pemilik rumah itu dulu yang konon katanya mati tewas?”. Mama menjawab pelan, “Nona.”
***
Apakah karena kecantikanku, sayang? Alamat aku dipinang
Apakah karena kebaikanku, sayang? Alamat kita disandingkan
Apakah karena kebodohanku, sayang? Alamat aku dibinasakan
Aku masih duduk disini, di tempatku selalu berada
Meski malam melabur pelan dan waktu berpendar buram
Aku masih disini, di tempatku menanti alasan
Aku masih sendiri, dan kau masih saja belum datang

Mereka sering datang, sayang
Mengisahkan indahnya cinta…
Apakah cinta itu, sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?
Cinta belum pernah kudengar, yang kudengar adalah tangisanku dalam diam
Cinta belum pernah kurasakan, yang kurasakan hanya berat nafasmu dalam dekapan menyakitkan malam-malam panjang
Apakah itu cinta sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?



Jawablah aku, sayang…
Aku masih disini, menantimu ditengah ketakutan
Ketakutan yang belum sempat kau redam



Jawablah…

Untukmu, jika kau masih disitu

Hari ini aku menyapamu yang masih ada disitu. Iya aku tahu kau selalu ada disitu walaupun tak pernah membiarkan siapapun melihatmu. Kau bilang kau masih sama dengan yang dulu, sama seperti disaat aku meninggalkanmu. Apakah aku pernah meninggalkanmu? Katakan saja iya.

Ada banyak kata-kata yang ingin aku tuliskan. Kata-kata yang seharusnya aku katakan padamu sedari dulu. Jika saja aku bisa. Ingatkah kau bahwa Telur-telur tanda Tanya itu masih banyak, warna-warna itu semakin membingungkan, kau hitam sehitam-hitamnya hitam! Tapi juga kau semerah-merahnya merah!
Mengapa aku meradang padamu yang tidak pernah marah ya, setidaknya kau tidak pernah marah padaku yang datang dan pergi seenakku saja…

Aku harap aku masih bisa, datang padamu apa adanya. Aku juga tidak berubah, masih suka dengan kecerianmu yang berbalut tanda Tanya. Aku berharap aku masih bisa, datang padamu dan membayar semuanya, utang cerita yang telah kugagalkan sebelumnya..

Biarlah waktu berlalu dan merenggut semua kesakitan yang lama, waktu tidak akan mengubah caraku memandangmu, bagiku kau tidak pernah tua. Padamu ada banyak harapan. Kau simpan erat-erat dalam peluk malam sendirian. Sekarang tunjukkanlah itu, kau terlalu membiasakan diri untuk tidak terlihat. Aku ingin kau membaginya pada pagi dan melemparkannya tinggi-tinggi kepada siang. Sambutlah kembali sejuta balasan sukacita bahkan lebih dari yang kau harapkan.

Apakah aku pernah meninggalkanmu? Katakan saja iya. Tetapi aku tidak akan pernah melupakanmu…
Hai Cinta, Apa warnamu hari ini?

Gudeg Terakhir


Satu kali makan saja ku telah bisa, cintai kamu di hatiku
Namun bagiku, melupakanmu butuh waktuku seumur hidup…
Alasan orang bangun pagi macam-macam. Antar anak ke sekolah, bekerja ke kantor, belanja ke pasar, macam-macamlah. Alasanku bangun pagi, aku mau makan gudeg (jangan lupa berdoa, nanti gudegnya jadi aspal).

Kata orang Gudeg Yu Susi enak, ada juga Gudeg Mbak Courtney lebih enak, ah kata orang banyaklah yang enak. Namanya juga kota gudeg, kemana-mana yang ada berjuta penjual gudeg. Jangan salah, yang aku sebut ini bukan gudeg sembarang gudeg. Ini adalah satu-satunya gudeg yang bisa aku makan. Kelebihannya cuma satu saja…. Pedas.

senang melihat orang kepedasan
Penjualnya seorang ibu lanjut usia…atau aku ingin mendramatisirnya menjadi ibu sangat lanjut usia. Saat ini dia berusia lebih dari tujuh puluh tahun dan sudah duduk disitu tanpa alas selama tiga puluh tahun untuk jual gudeg di pagi hari. Aku tak pernah bertanya namanya, bagiku namanya sama rahasianya dengan rasa gudeg ini yang tak pernah berubah. Jadi kita namakan saja Gudeg Ibu Tua Keren Tak Kenal Lelah. Soal rasa, jawabannya jika aku bertanya apa rahasia gudegnya yang laris manis itu hanya satu…
Rasa gudeg itu sama saja dengan gudeg yang ada dimana-mana, tetep nangka. Yang bikin laris itu ya rahasia Tuhan. Tuhan yang memberi rejeki.”

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Selain karena aku selalu beli gudeg sebelum mandi, juga karena aku heran karena kata-kata sederhana seorang wanita yang telah menjanda selama tiga puluh tahun itu mampu mengungkapkan satu rahasia hidup…. Rendah hati.

Pagi ini aku juga makan gudeg. Tidak perlu bangun pagi-pagi karena memang belum tertidur barang sedikit. Perut yang keroncongan sehabis berbenah membuatku makan gudeg itu tanpa sedikit sabar di tengah tumpukkan barang ini. Aku berhenti sejenak. Ini adalah kali terakhir aku makan gudeg ini. Besok aku akan bangun pagi di tempat yang berbeda di barat sana. Aku sedikit sesak. Sisa kekecewaan yang membuat aku beranjak dari tempat ini masih tersisa, apalagi ketika aku sadar aku tidak akan lagi bisa menikmati sarapan indahku ini. Aku pernah memakannya bersama dengan keindahan pagi hari, aku pernah memakannya dengan tawa dan canda bersama orang-orang yang aku kasihi, aku pernah memakannya dengan penuh syukur setelah semalaman bergelut dengan bermacam tugas, aku juga pernah memakannya sambil menangis saat aplikasi yang ku buat susah payah rusak pagi itu, bahkan aku pernah berpikir bahwa hal terindah yang pernah kurasakan selama tinggal ditempat ini adalah makan gudeg ini di pagi hari.

Dahsyat….. seketika aku tersentak. Amboi, bukankah inilah kali terakhir aku makan gudeg ini? Tidak akan ada lagi hari lain aku memakannya. Aku ingin melakukan sesuatu. Sisa gudeg itu kuhabiskan dengan keji, kuremas kertas pembungkus dan meraih pocket kamera di tas ku. Dengan cepat saja aku berpikir ingin mengabadikan suatu moment dengan gudeg favoritku ini tanpa perlu minum lagi. Aku takut orang akan mulai ramai memenuhi tempat itu setelah pukul enam. Aku berlari…
Aku terengah di depan ibu tua itu. “Ono opo e cah ayu?”
Aku tak bisa menjawab. Sial…sial, aku ternyata menggigit cabe rawit krecek di dalam nasi gudeg tadi bulat-bulat.



My Precious Cup

Aku membungkus burung kecil yang mati itu dengan perlahan. Sungguh burung itu masih sangat muda, kalau aku tidak berhati-hati bisa-bisa aku memecahkan perutnya yang setipis gelembung sabun.
Aku menemukan burung ini saat pamanku membersihkan halaman belakang rumahnya. Mungkin karena guncangan yang dahsyat terjadi saat pamanku menebas sebagian ranting pohon rambutan itu, terjatuhlah sarang beserta seekor anak burung ini.

Aku meminta pamanku untuk merawat burung itu, namun paman sepertinya tidak tertarik dan mempercayakannya padaku. Aku sih tidak berkeberatan, toh aku tidak sibuk.

Aku  memberinya makan berupa tepung beras yang kucampur dengan sedikit air sehingga menjadi gumpalan-gumpalan. Masalahnya bagaimana caranya membuka mulut Si Anak burung nan mungil ini? Bukan aku kalau tak cerdas. Kubiarkan burung itu tidur lalu aku mengagetkan dengan cara mengguncang kaleng susu bekas yang kujadikan tempat persemayamannya. Lalu burung mungil itu akan bangun dan berteriak ”Akkkk…akkkk…akkk.” serta merta aku akan menjejalkan gumpalan tepung beras yang kucuil dengan ujung korek api.

Singkat cerita, robeklah bibirnya. Matilah dia.

Jadi, aku akan menguburkannya di belakang rumahku. Persis di atas parit yang menjadi pembuangan akhir banyak orang. Parit yang membatasi pekarangan belakang rumah pamanku dan dapurku. Ku beri tanda dengan palang salib kecil supaya aku tahu dimana kuburnya. Setiap hari aku akan menyempatkan diri berziarah karena aku merasa berdosa. Seiring berjalannya waktu, aku melupakan Si Burung Kecil.
Bukan karena aku menganggap kebiasaan itu adalah kebodohan, namun aku benar-benar sibuk. Waktu itu aku kelas satu es de, sekarang aku sudah es em a. Jelas?
* * *
Orang bilang lelaki muda itu datang dari Jakarta. Dia menginap di penginapan dekat rumahku, karena mama melihat sekilas kulitnya yang oriental mama jadi sangat ingin tahu siapa lelaki itu.

Usut punya usut, lelaki itu memiliki latar belakang yang sama denganku. Dia juga sebenarnya produk Lebong yang melanjutkan kehidupannya di kota lain, kota Jakarta. Kakek neneknya lah yang dahulu tinggal di Lebong, sebenarnya dia juga sempat menghabiskan masa kecil di kota ini namun beranjak remaja sepeninggalan ibunya, ayahnya memboyongnya ke kota lain itu.

Kata mamaku, pasti bukan tanpa alasan jika dia datang  kemari seorang diri. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan, kebetulan mama kenal baik dengan keluarga besarnya dahulu. Mama dan papa akhirnya punya kesempatan untuk menyapa lelaki itu dan mengingatkannya kembali siapa kami. Lelaki itu tersenyum. Bagiku itu senyum kelegaan karena akhirnya ada juga orang yang masih mengenalnya di tempat seperti ini setelah beberapa hari bergumul sendiri.

Dia bercerita kalau bapaknya sudah meninggal di Jakarta. Dia pun sudah menikah. Namun ada satu hal yang mengganjal batinnya. Dia tidak tahu dimana ibunya dibaringkan. Atas izin istrinya, dia mulai mencarinya kembali selama beberapa hari ini. Malangnya, pekuburan Belanda yang ada di dataran tinggi tempat ibunya dimakamkan itu sudah tertutup ilalang. Saat dia membayar orang kampung setempat untuk menebas ilalang itu, dia semakin terpuruk. Semua kubur yang tampak, telah rata dengan tanah. Tak berbekas. Air mata menetes dari pelupuk matanya yang melingkar hitam itu saat menceritakannya pada orang tuaku.
* * *
Keluarga besar lelaki itu adalah keluarga terkaya pada zamannya di seantero kota. Seperti kebanyakan kasus yang kita lihat di film-film, nasib gadis muda yang menikahi anak orang kaya hanyalah berakhir di dapur dan pengabdian panjang sebagai istri yang kawin, beranak, mati. Itu juga yang dirasakan oleh ibu lelaki ini. Mungkin setumpuk penyesalan yang membuncah-buncahlah yang ada di dalam dada lelaki ini. Penyesalan untuk seorang ibu yang tidak bisa dia bahagiakan hidupnya. Sewaktu remaja, lelaki ini menjadi seorang anak yang “salah didikan”, bagaimana kesalahan itu terjadi, kita tidak mengetahuinya. Itu adalah sebuah proses yang dialaminya sendiri.

Bengal, nakal, bebal, entah apalagi kata yang ingin orang-orang ucapkan lewat pandangan mata mereka terhadap lelaki ini. Ukurannya bahkan tak diketahui lagi. Pokoknya begitu berat hingga mampu mencabut nyawa ibunya dengan tekanan darah yang tinggi. Belum lagi lelah karena tak ada perbedaan status antara pembantu dan istri.

Tetapi tak sedikitpun peristiwa itu membekas dalam dirinya yang berjiwa bebas kala itu. Tak sedikit pun dia ingin mengambil beban untuk kejadian itu. Tidak saat itu.

Namun tanpa dia sadari ibunyalah cangkir-cangkir yang dia reguk setiap hari, entah bagaimanapun rasanya. Dan saat ini balasan datang pada waktunya (ah, bukan balasan. Hanyalah pergantian peran), dialah yang menjadi cangkir-cangkir itu. Saat dia sendiri sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang akan meminum dari cangkirnya setiap hari. Dia merasakan apa yang ibunya rasakan.
* * *
Apa gunanya mencari orang yang tak bisa dicari? Sampai menangis darahpun tak dapat lagi ditemui. Namun tetap saja setiap orang yang menyesal berusaha melakukan sesuatu yang “tak berguna” untuk melegakan dirinya sendiri.

Dalam beberapa hari itu akhirnya dapat ditemukan apa yang lelaki ini cari, makam ibunya. Katakan saja begitu, toh tidak ada yang tahu debu siapa yang tertanam di bawah sana.

Jika dengan merenovasi kembali onggokan tanah itu bisa menenangkan orang yang masih hidup, baiklah itu dilakukan saja. Tidak ada salahnya. Jauh di dalam hati, semua manusia yang berpikir—termasuk lelaki ini mungkin—merasa semua tetap sia-sia saja.

Burung yang sebegitu kecil dan “tak bernilai” dibanding manusia saja dirawat dan dijaga. Matipun kuburnya berharga. Lebih dari itu seorang ibu seharusnya bagi kita. Dialah cangkir-cangkir yang isinya ingin kau reguk setiap hari. Berhati-hatilah dengan cangkirmu.

Oh, God. Apa yang sudah kutulis ini? Apakah karena aku sudah melakukan hal-hal yang besar untuk orang tuaku? Mungkin belum. Aku hanya menulis ini karena sedang mengingat beliau. Merindukan juga. Saat ini aku menghitung detik-detik awal 18 September 2009. Aku berterima kasih Tuhan telah membuatnya hadir enam puluh tahun yang lalu. Membuatku begini apa adanya, tak pernah memaksaku dalam hal apapun.
7728_1146377894439_1077289364_392504_3023652_n
Selamat Ulang Tahun, Mama. Dirimu adalah cangkirku yang paling berharga. I Love You.

Mr / Mrs. “Possibility” Right

Beberapa hari yang lalu, aku bercerita pada mama bahwa ada satu lagi temanku yang akan segera menikah dalam beberapa bulan ini. Dengan sedikit dengusan mama “mengeluh” mengapa begitu mudah untuk orang lain menikah dan punya anak, sementara kami (mayoritas cucu-cucu nenekku) menikah pada usia yang bisa dibilang tidak muda.


“Selalu saja kalian itu tidak cocok sama siapapun juga, yang ini hidungnya peseklah, yang itu jidatnya nononglah, yang ini belum mapan bangetlah, terlalu banyak perhitungan.”
Omelan mama ini panjang pendek aku dengar saja tanpa protes, aku merasa ini bukan ditujukan untukku haha…kalau aku yang minta nikah sekarang justru mama malah repot… Semakin lama pembicaran soal pernikahan semakin jauh dan ngalor ngidul. Sampai akhirnya aku bertanya pada mama, apa rasanya duduk di pelaminan bersama seorang laki-laki. Jawab mama hanya “entahlah”.
“Loh kok bisa ‘entahlah’ sih ma? memangnya mama selama di pelaminan ngapain aja?”
“Diam aja.”
“Loh kok diam aja? emang ga ngobrol?”
“Ngobrolin apa, aku juga ga begitu kenal sama dia
.”……………beghhhh…parah.
Seputar pencarian Mr / Mrs. Right ini mungkin bagi sebagian orang tidak gampang. Sampai menyerah dan ikut Take Me Out haha…Yup, ada seorang teman yang reputasinya bagus dalam hal berpacaran justru saat ini mengaku bingung menemukan pria yang bisa berpikir serius. Sebaliknya, seorang teman yang pria malah bilang wanita yang selama ini didekati self defences-nya terlalu tinggi dan susah ditebak maunya apa sehingga dia memutuskan untuk mencari wanita lain yang lebih out going. Kasus lain, ada yang bertahan dengan kriterianya yang aujubile setinggi langit.

Kita tentu memiliki koridor yang membuat kita mencari the one ini dengan cara-cara yang kita anggap baik. Kata “seimbang” dan “sepadan” beberapa kali disebutkan dalam kaitannya dengan pasangan dalam alkitab. Selama ini mungkin saja ada yang menerjemahkan seimbang-sepadan itu dalam nilai-nilai seperti aku pintar dia juga harus pintar, pendapatanku sekian pendapatan dia minimal sama tapi HARUS lebih, aku jelek dia mesti tampanlah demi memperbaiki keturunan, dan sebagainya. Sebaliknya, mungkin juga ada yang menerjemahkan seimbang-sepadan itu dengan nilai yangberbeda. Misal, gak apa deh dia ga terlalu smart tapi dia lebih sabar dari aku, gak apa deh kalo pendapatannya sekarang belum begitu sesuai yang penting dia itu pekerja keras, gak apa deh kalo dia ga tampan-tampan amat yang penting dia kaya…loh?? haha…

Tidak…tidak ada yang benar-benar BENAR dan tidak ada yang benar-benar SALAH. Aku tidak memikirkan apa yang seharusnya dipikirkan dan dilakukan untuk orang-orang yang saat ini sedang mencari tambatan hatinya. Tentang itu, kurasa terlalu personal. Semua orang berhak menetapkan “harga” yang pantas dan semuanya pantas “dihargai” apapun pilihannya. Aku hanya ingin mengungkapkan rasa heran terhadap mamaku. Aku tidak pernah tahu apa tepatnya alasan menikah dengan seorang pria yang tidak lama dikenalnya. Bagi pasangan yang telah melakukan pendekatan dalam jangka waktu yang cukup lama, bisa saja ada nilai-nilai lain yang ditemukan dalam diri satu sama lain tapi untuk mamaku mungkin semua itu chemistry belaka ditambah beberapa hal-hal kecil lain dalam keseharian papa yang menurut mamaku mencerminkan hal besar. Pastinya, dua macam tipe duratif ini membutuhkan kerelaan yang besar terhadap satu sama lain untuk saling menerima apa adanya.

Pada akhirnya, apapun itu segala sesuatunya harus dalam hikmat Tuhan. Menikah adalah suatu peristiwa yang pastinya hanya diharapkan terjadi sekali seumur hidup oleh semua orang, memilih dan memutuskan dengan hikmat Tuhan adalah satu-satunya jalan untuk bertahan sampai akhir. Tiba-tiba aku membayangkan betapa kalutnya Eliezer yang telah diambil sumpah oleh tuannya untuk mencarikan si anak majikan seorang wanita yang tepat. Berbekal kendaraan 10 ekor Unta, dia berangkat dengan harap-harap cemas. Sesampainya ditujuan, dia beristirahat dan hanya bisa berharap pada Tuhan yang dimiliki tuannya untuk menunjukkan gadis mana yang paling tepat. Mungkin saat itu yang ada dalam pikiran Eliezer hanyalah minum saking panas dan hausnya sehingga dia meminta pada Tuhan bahwa gadis yang bersedia memberi dirinya dan unta-untanya minum itulah yang akan dipilih oleh Tuhan. Dan inilah gadis itu….jreng…jreng..jreng…Ribka muncul bersama buyungnya ingin mengambil air, sekaligus menawarkan pada bapak-asing-muka-cemas-dekat-sumur itu minum beserta Unta-untanya. Seekor unta bisa menghabiskan 100 liter air sekali minum, kalau 1 buyung itu kira-kira 35 liter, maka 1 ekor Unta bisa sampai 3 buyung. Jadi paling tidak si Ribka ini menghabiskan banyak sekali tenaga untuk bolak-balik sampai 30 kali……wedewww, barangkali bisep-trisepnya melebihi Ade Rai..haha… Baik hati sekali si Ribka ini…Kesimpulannya, bawalah unta 10 ekor jika anda ingin diberi petunjuk menemukan pasangan hidup (LOL).

Ah, apa iya hikmat Tuhan itu selalu berupa tanda-tanda yang kita inginkan? Jika dia pasangan hidupku, aku mau dia pakai baju biru hari ini. Jika dia pasangan hidupku, aku mau dia memberikanku selusin mawar saat dia nembak nanti. Jika dia pasangan hidupku, aku mau status facebooknya berisi tentang dinner tadi malam……Ah, tidak tahulah, kalau mau ya minta saja.

“Yang penting dari seorang pria itu dia tidak judi dan tidak minum minuman keras, semua itu menjurus kepada main perempuan. Cukup dia sayang sama kita, itu saja. Perkara uang, harta, dan cirit minyak-nya itu bisa dicari bersama-sama.”….ini adalah kata-kata mamaku, jelas aku sangat mengagumi cara berpikirnya dalam hal menentukan pasangan hidup. Aku tidak pernah menyangka seorang ibu yang sederhana bisa berpikir sebegitu bijaknya dalam hal yang mungkin sama sekali dia tidak pahami secara teoritis, atau memang cinta itu dimengerti justru dari hal-hal praktis??

Guru

Beberapa waktu ini istilah sintaksis selalu menghantui saya, membuat saya tidak dapat tidur, tidak nafsu makan, berkeringat, dan sampai alergi datang setiap stamina saya turun karena memikirkannya. Sintaksis…sintaksis..dan lagi-lagi sintaksis. Sekedar informasi bagi anda, sintaksis adalah salah satu cabang ilmu bahasa Indonesia yang mempelajari kalimat, klausa, dan frase. Bagaimana suatu kalimat itu dibentuk dalam suatu konteks tata bahasa baku. Mau muntah saja rasanya, belum pernah aku sadari sebelumnya bagaimana bahasa Indonesia begitu rumit, jelimet, ruwet tetapi aku harus merumuskannya supaya struktur itu bisa diolah secara sistematis.

Mungkin aneh jika mahasiswa teknik mengulik dan ngoprek tata bahasa karena memang tidak dibahas di mata kuliah teknik (kecuali oprek source code), namun ada perkecualian buat saya. Saya memilih membuat suatu aplikasi parsing untuk skripsi dan bisa ditebak yang parsing disini adalah sintaksis dalam bahasa Indonesia.

Bagaimanalah caranya mengatakan pada anda bahwa ini teramat sulit buat saya. Mengutip ucapan seorang sarjana bahasa yang mengatakan sintaksis adalah momok untuk mahasiswa bahasa sendiri mungkin juga kurang menyeramkan bagi anda. Namun begitulah adanya, ini s.u.l.i.t.

Begitulah setiap hari saya berusaha melihat subjek, predikat, objek, keterangan, pelangkap dari kacamata teknis. Sehingga begitulah hari-hari saya seperti kembali lagi ke masa lebih kurang sembilan tahun yang lalu saat duduk di salah satu kelas di lantai dua SMP Negeri 1 Muara Aman. Beliau ada di depan saya, mengenakan batik lengan panjang, kacamata, dan ciri khas kerut di wajahnya yang dengan tersirat mengatakan pada semua orang bahwa ini masa-masa menjelang pensiunnya.

Seingat yang bisa saya ingat, beliau tidak pernah mengajar menggunakan buku apapun, tidak pernah mengajari kami menjawab pertanyaan dari wacana-wacana, tidak pernah mengajari kami tafsir puisi atau karya sastra, tidak pernah mengajari kami membaca grafik, atau berdebat. Setiap mengajar yang beliau lakukan adalah menulis di papan tulis dan menjelaskan apa itu kalimat, apa itu objek, apa itu predikat, bagaimana sebuah kalimat itu bisa memakai pelengkap….dan poor me, baru menyadari bahwa yang saya oprek sekarang ini adalah semua yang beliau pernah ajarkan.

Siapa bilang dulu saya memperhatikan apa yang beliau jelaskan? Sama sekali tidak, begitu juga saya rasa dengan teman-teman yang lain. Beliau sudah sepuh, suaranya tidak lagi merata ke seluruh penjuru kelas, bahkan cenderung tidak mendengar kalau ada yang berciap-ciap makan keripik atau main catur di belakang.
Setiap selasa pagi dijam pertama beliau selalu terlambat masuk karena hari itu adalah jadwal pengobatannya, melegakan sesaat karena beliau tidak pernah tidak datang. Dan yang paling membuat saya kesal adalah saya tidak pernah mendapat nilai yang bagus untuk bahasa Indonesia selama beliau mengajar, bagaimana tidak….saya tidak bisa mengarang indah dan juga tidak bisa mencontek setiap kali ujian. Soal ujian tidak pernah dirancang seperti itu, soal ujian selalu membuat kalimat berbagai macam jenis, apa iya jawaban satu kelas sama semua?

Membuat kalimat kalau yang memerintahkan beliau tentu saja tidak mudah, paling tidak…tidak mudah untuk anak yang tidak memperhatikan sama sekali pelajarannya. Suatu kali saat sedang asyik menggambar beliau memanggil namaku dari absensi dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan spidol…”tuliskan kalimat yang menggunakan pelengkap penderita”….alamak, pelengkap?? okelah..tapi apa iya ada pelengkap yang menderita?? *tenggorokanku tercekat*

Dilain waktu lagi saat beliau sedang mengajar, saya dihasut untuk menghentikannya. Konon katanya ingatan beliau sudah tidak begitu baik, jadi kalau ada jeda disaat beliau sedang menjelaskan itu akan membuat beliau lupa apa yang tadi telah dikatannya terakhir. Caranya adalah dengan menjatuhkan kotak pensil kaleng milik teman sebangku saya ke lantai. Sebuah konspirasi yang sukses…saya menggeser kotak itu pelan-pelan dan praaaaang…..beliau kaget dan berhenti, dan sisa jam pelajaran itu beliau duduk dan membaca di mejanya, tidak ada perintah membuat kalimat hari itu.

Beberapa waktu lalu saya mencari-cari guru diberbagai sekolah untuk bisa diskusi tentang sintaksis namun tidak mudah. Sosok beliau yang berharga sebagai aset pengajar hebat masa itu baru bisa saya pahami saat ini. Mengapa anak-anak di usia saya kala itu cenderung ingin bersenang-senang dengan kondisi null tanpa belajar. Mengapa anak-anak diusia saya kala itu tidak menyadari bagaimana orang-orang seperti beliau ini adalah potongan-potongan yang akan membentuk diri.

Seorang guru tidak akan pernah menjadi sama dengan konglomerat, jenderal bintang tujuh, selebritis, atau siapapun tapi karya mereka juga tidak akan pernah senilai dengan karya siapapun. Diri kita saat ini adalah karya mereka, prestasi kita saat ini adalah prestasi mereka walaupun apa yang telah mereka berikan tidak sepenuhnya diapresiasikan dengan pantas. Bukan hanya dengan materi yang pantas (yang resmi dari pemerintah), namun penghormatan dan penghargaan yang pantas dari…kita.

Beberapa waktu yang lalu sempat booming rangkaian Laskar Pelangi yang dipersembahkan untuk ibu Muslimah, saya masih ingat bagaimana Andrea Hirata di kick Andy tidak dapat berkata satu patah kata pun saat Andy Noya mempersilahkannya mengatakan sesuatu kepada ibu Muslimah di studio, matanya hanya berkaca-kaca. Apakah ada seorang Andrea tanpa ibu Muslimah? apakah ada Aristoteles tanpa Plato? adakah Plato tanpa Socrates? dan apakah ada kita tanpa guru-guru kita? masih ingatkah anda pada mereka?
Saya tidak mengatakan bahwa kita juga harus melakukan hal yang sama dan spektakuler dalam berterima kasih, namun kita bisa melakukan banyak hal lain yang akan lebih berguna untuk menciptakan kehidupan masa depan yang lebih baik yang tentunya andapun mengharapkannya. Semua itu karena perubahan bukan di tangan orang lain, bukan ditangan pejabat tetapi dari tangan kita. Dari tangan kitalah akan ada anak-anak yang tumbuh, mereka layaknya menjadi pribadi-pribadi baru yang berkualitas, mereka adalah “guru-guru” baru di masa depan yang penuh dedikasi. Pertanyaannya, siapkah kita menciptakan iklim yang baik untuk mereka tumbuh subur dan berbuah manis?

M.A.B
Terima kasih yang tulus kepada seorang guru bahasa Indonesia terhebat yang pernah ada, Alm. Djohan Sjahri.
(maafkan saya soal kotak pensil kaleng itu, Pak)

ilalang…

Dunno why, i luv ilalang…
Tidak ada kurasa orang akan mengatakan dia cantik. Dia tidak wangi. Dia bisa melukai. Dia tidak menarik perhatian orang. Tidak akan ada orang yang akan sengaja menanamnya di halaman rumah. Tidak ada juga orang yang akan menggunakannya untuk mengatakan cinta.

Aku masih ingat pagi menjelang siang itu, kala kami akan segera meninggalkan lokasi KKN. Anak-anak dusun itu terlihat berkerumum di depan rumah kepala dusun, tempat kami tinggal selama satu bulan ini. Mereka mencariku. Aku terkejut saat tangan-tangan kecil itu menggenggam sesuatu. Mereka semua menyerahkannya padaku….ilalang…


Aku tersenyum. Mereka mengerti, mereka mengamati. Di dusun ini bunga mawar tumbuh dengan subur seperti semak belukar tanpa perlu ditanam. Keindahan mawar beragam warna agaknya adalah daya tarik bagi siapa saja yang datang pertama kali ke desa-desa di kaki Merbabu ini. Jika mereka memberikan aku ilalang, alih-alih mawar…Oh, aku merasa sangat…sangat tersanjung, artinya bocah-bocah kecil ini melihat dan memperhatikan.Ku genggam erat ilalang itu ditangan, sampai mereka terhilang dari pandangan.
Aku menyukai ilalang entah sejak kapan. Mungkin sejak lama sekali, sejak aku menggunakannya untuk menghiasi kartu-kartu mungil.

Ilalang mengingatkanku pada sebuah kekuatan yang tak terbatas. Manakala surya pagi menyeruak dan membakarnya, dia berdiri kokoh tanpa pernah layu. Jika hujan turun dan mengisi sela-sela lembut bunganya, dia tak pernah merunduk. Dia mengatasi apapun.

Manakala aku menangisi keberadaanku, ilalang mengingatkanku pada kesepian, kesendirian dan ketidakbergantungan. Saat langit dengan semburat ungu datang disertai rintik hujan, wangi tanah yang bercampur dengan keringatnya terus memaksaku untuk kembali kesuatu masa dimana sunyi dan sepi itu adalah keindahan tiada tara, bersama bintang-bintang, bersama binatang malam, bersama jalan-jalan panjang. Dia tidak pernah mengeluh, Dia mengatasi apapun.

Aku marah!! Aku menggugat kemapanan semesta yang tak adil. Dengan kepala yang terus berpikir untuk menyerang dan meradang aku berlari menembus malam, berteriak pada keadaan…tinggalkan! tinggalkan! tinggalkan aku! Jangan pernah membuat aku setia padamu, engkau tuan yang tidak ku kenal! sejuta pernyataan  itu berkecamuk di dalam dada, tidak ada yang berniat menjawabnya…namun jika ku longokkan kepalaku ke kaki-kaki bukit dingin di bawah sana, ada ilalang yang lamat-lamat bernyanyi lagu senja dengan tangkai yang bergoyang karena angin. Dia tak pernah menyerah. Dia mengatasi apapun.

Aku kehilangan banyak hal, dan yang terbanyak adalah waktu. Namun segenggam ilalang di tangan terus mengingatkanku pada semuanya…tangis dan tawa dalam hidupku. Seperti kartu merah dan hitam yang kususun, seperti tarianku saat gerimis senja, seperti gelak kemenanganku yang sudah-sudah.
…………………………………………
Aku berkata dunno why, i luv ilalang…Seolah aku mengatakan entah mengapa aku jarang merasa menang, jarang merasa hebat, nistanya jarang merasa bisa, namun aku menyukai gelap ini, sepi ini, dan bersyukur. Aku tersenyum setelah menulisnya, entah mengapa aku melakukannya, hanya ingin saja.  Namun seorang teman yang baru saja kutangkap sesaat lalu datang dan membuat sesungging senyum lagi dibibirku.

Dicky: ilalang rumputnya belalang…tempatku mengucap katakata lancang tanpa arti, hanya karena aku dikatai jalang oleh mereka

Melyan:  saat kau ada dihamparan mawar, kau katakan kau mencinta meski cinta berduri dan menyakiti.. saat kau berkecimpung di lautan teratai, kau katakan kau mencintai hidup dan kan mengarunginya walau berujung jeram.. saat kau berhadapan dengan ilalang, mengapa kau mendendam? tapi itulah indahnya…dia tumbuh tak terganggu, dimana saja, kapan saja, karena bagiku dialah kesederhanaan yang bersahaja tanpa batas….

Dicky:  aku mendendam karena iba dengan kemanusiaanku, ini sulit dan melawan kodrat. aku suka mawar…tapi duri ilalang lebih tajam daripada cintaku yang termakan kesederhaanmu…mengapa?

Melyan:  jika saja kau mencinta kesederhaanku, ilalang… yang tak akan kau temukan pada apapun…bukan justru mengiba demi rasa kemanusiaan yg bisa kau beri pada siapa saja…mungkin kau akan tau dan pantas bertanya MENGAPA. Jika saja itu nyata, ingin sekali aku menjawab…karena aku ilalang dan karena kau cinta padaku. Pada apa yang ada padaku…saatku dingin di kaki Merbabu, saatku panas di pinggiran jalan, saat ku hancur ditebas, saat ku disanjung oleh sebagian orang, saat aku merasa apa saja…

Dicky:  inilah kehidupan.
ilalang yang merasakan seluruh inderanya berteriak karena angin, karena matahari, karena debu panas. sedangkan aku mawar yang tak puas dengan MENGAPA, dengan nyata dan jawaban yang disembuyikan ilalangku. .ternyata kau sama sepertiku, hancur oleh sebagian nafsu orang lain sekaligus mencair karena tersanjung oleh nafas penjilatpenjilat matahari (mereka bisa saja menyanjung kita sekaligus membakar kita, kau ilalang dan aku mawar berduri, kapan saja)..
kita masih sama dan akan merasa sama saat kata2 ini tersu merayu malam tanpa ampun…aku haus sayang….jangan tanya MENGAPA, karena aku tidak APAAPA, aku hanya haus…
(Facebook, Februari 2009)

Ya, inilah kehidupan. Hidup yang pedih itu dapat dilukis dengan indah, dan hidup yang penuh gelimang ambisi itu jadi biasa-biasa saja. Sen, bagiku ilalang mampu menasehatiku dengan kelakuannya. Dan selama kita bersyukur atas apa yang kita terima kemaren, hari ini dan nanti, aku rasa kita akan masih sama…benar, kita akan tetap sama, kau mawar berduri dan aku ilalang…ah, tidak…asal kau tahu, setelah kukatakan padamu panjang lebar seperti apa ilalang itu, justru aku tidak berani menjadi dirinya…
Aku menyukai ilalang, aku bukan ilalang, hanya saja aku ingin menjadi ilalang…
Hingga saat ini, bulir-bulir ilalang milik bocah-bocah kecil itu berguguran di samping jendela kamarku dan terus menceritakan romantisme yang pernah ada diantara aku dan semua yang ada disekelilingku. Bersama harapan yang besar untuk selalu tumbuh dan hidup di segala musim dan keadaan.

(Thanks to D. Christian Senda)

Demi Premier Film Bodoh..

Pembukaan :
Sebenarnya gak tega bilang ini film bodoh, tapi kalo yang punya cerita aja tega membodoh-bodohi diri (*dan orang lain) kenapa aku yang bodoh ya ga tega bilang ini film bodoh?—
Isi:
Ceritanya hari ini aku ketemu temen lama yang aku baru tahu sangat up-to-date tentang hal-hal yang bodoh-bodoh. Sebelum ketemu aku dia bilang dia baru aja menghabiskan banyak waktu untuk memindahkan isi blognya ke alamat blog yang baru di wordpress dan berjuang keras meng-aplud header sebuah iklan film bodoh ke blog itu untuk dapetin satu tiket premiernya. Waa…segitunya (Kecurigaanku dia sengaja memindahkan semua isi blognya hanya supaya dia bisa naro header disitu…)…Bodoh amatttt….hehehe (*pisssss)
Mel:   Eh, bang…aku pikir-pikir, bodoh banget sih ngabisin waktu buat naro header tampang orang bodoh kaya gini di blogmu dengan bandwith yang lemot super bego gitu….
Abang: Hiiiy….jangan sembarang ngomong bodoh ye. Kamu tuh tau apa soal kambingjantan…
Mel: (berdehem bukan batuk tapi mendramatisir supaya muncul kesan rendah hati yang dalam dan memahami penyimpangan orientasi seksual abang. Lho????) Lha, Emang abang udah baca buku-bukunya??
Abang: (Dengan tampang polos dan imut)…Belum….tapikan lumayan kalo dapet.. (Hah…ngasal! Bilangin “Kamu tuh tau apa soal kambingjantan…” Baca bukunya aja kagak, masih mending aku dong, rendah hati dan tidak sombong, udah beli udah baca tapi gak sok te-u geeto)
Mel: Ya deh…(dengan nada halus nan lembut) Maksudku, justru kalo dapet tiket itu malah musibah.. Bayangin aja berapa duit bakal melayang untuk tiket kereta super ekonomi sekalipun dari Yogya-Jakarta PP. Padahal kalo misal tuh film muncul di XXI kita bisa beli tiket plus 30 gelas Root Beer buat dibagi-bagi ke yang nonton dengan duit segitu.
Abang: ….(hening)….Makan yuk! (Wakssss…)
Singkat cerita Mel & Abang makan nasi goreng–nasi kuah kecap manis tepatnya–sambil masing-masing berceloteh hal-hal bodoh tanpa menyadari bahwa kebodohan adalah sebagian dari iman mereka (ini khusus Mel, mengingat berbagai kegagalan fatal yang terjadi karena kebodohannya baru-baru ini–TA lanjut, jatoh dari tangga, kuku jempol kaki kejepit pintu sampe patah, dsb). Abang pulang.
Ga sampe selang satu jam, abang online dan kalimat pertama yang dia tulis untukku adalah…
Abang: Ayolah, posting aja,  pa ruginya sih?? (Bweh..masih juga)
Mel: Emang kenapa sih bang kayak ngebet banget? Aku sih pengen banget nonton, tapi kalo mikir ongkosnya weeh..makan nasi kucing aku sebulan, jadi kayak kucing beneran malah dikawinin ntar sama Alfa (Kucingnya Dika, tapi untung kata Dika kucingnya ga lesbi dan ga tertarik sama cewek cakep jadi aku ga jadi kuatir memperpanjang memikirkan hal bodoh ini)
Abang: Lumayan nonton premier gratis, bisa dateng ke Jakarta sambil trus bisa jitakin kepalanya juga (*Dika)
Weekss….
Alhasil aku termakan juga bujukannya, lumayan kalo misal dapet tiket bisa berdua sama abang aneh ini ke jakarta nonton premier sambil curi-curi kesempatan jitakkin kepala Dika, biar kata ini adalah Visi dan Misi terbodoh  tapi ga pedolee…toh emang yang mau ditonton film bodoh je.. Aduh, Dit (*Raditya Dika) Dia harus dapet tiket Dit, mengharukan sekali kampanyenya..bahkan dia rela mengetik bikin tutorial buat aku step-by-step bagaimana-mengganti-header-di-wordpress…dan aku berhasil menggantinya dengan sukacita–abang tertidur pulas di seberang sana karena baru dateng dari Jakarta pagi tadi, niat naek kereta ke Yogya tapi pulas dan baru sadar setelah nyampe Surabaya Gubeng)
Kesimpulan:
1.Semoga dapet…semoga dapet…semoga dapet, darah dan air mata telah tercurah demi aplud header sampe monyong inihhh….
2.  Ga lebih dari 20x aku menyebut kata bodoh di sini, hahaha…aku lupa sebenernya lebih banyak atau lebih sedikit (ato malah ga ada sama sekali???)
3. Nih aku kasih link buat temen-temen yang mo ikutan makan nasi kucing, eh…nonton film pelajar bodoh <— klik di sini.
4. Benar…siap-siap makan nasi kucing.
P.S Maaf untuk abang yang telah terzolimi ditulisanku ini, bagi yang ingin menyatakan simpati pada abang <– klik di sini.

Untuk Seorang “warna”

Aku menepis bayang-bayang ragu yang mulai menyelimuti pundakku. Ah janganlah sampai ia menggagahi kepalaku, aku membutuhkan keyakinan saat ini, sangat-sangat butuh.
Aku berpikir dengan sedikit mantra mungkin akan membantu menormalkan aliran darahku, sedikit larutan manis mungkin juga akan membuat  pikiran ini membaik. Namun apa yang terjadi adalah keresahan panjang bahwa keyakinan yang membuncah juga akan beresiko membawa sayap-sayap kecilku  terbang ketempat yang tidak aku rencanakan….ke dalam hatimu..
Aku hanya berencana duduk di berandanya tidak akan mengetuk pintu dan memintamu membiarkanku masuk. Oleh sebab itu, sedikit keyakinan saja cukuplah… Lebih dari itu aku takut menyentuhnya lagi, menyentuh warna yang mungkin belum ku kenali…warna yang mungkin tidak berada pada spektrumnya…
Sungguh…aku hanya ingin duduk di sini dan hanya bisa melihatmu dari sebuah sisi.

Parsing Sintaksis Bahasa Indonesia dengan Metode Bottom-Up Left to Right

Bahasa alami adalah bahasa yang biasa digunakan untuk berkomunikasi antarmanusia, misalnya bahasa Indonesia, Sunda, Jawa, Inggris, Jepang, dan sebagainya. Bahasa alami ini merupakan suatu bentuk representasi dari suatu pesan yang ingin dikomunikasikan antarmanusia. Bentuk utama representasinya adalah suara/ucapan (spoken language), tetapi sering pula dinyatakan dalam bentuk lisan (Arman, 2004)
            Pemrosesan Bahasa Alami (Natural Language Processing) adalah studi tentang bahasa manusia dan bagaimana bahasa-bahasa tersebut direpresentasikan secara komputasional, dianalisa, dikenali, serta digenerasikan secara algoritmik (Krisnawati, 2006). Sejak paradigma dasarnya mulai dikembangkan sekitar tahun 1940 hingga sekarang, perkembangan teori, metode, serta pengembangan aplikasi NLP terus mengalami kemajuan. Hal ini memungkinkan teknologi Pemrosesan Bahasa Alami sebagai pendekatan baru dalam interaksi manusia dengan komputer.
Aplikasi-aplikasi Pemrosesan Bahasa Alami yang telah ada antara lain Machine Translation (Alshawi, 1996), Speech Synthesis from Parse (Prevost, 1996), Speech Recognition Using Parsing (Chelba et al, 1998), Grammar Checking (Microsoft), Indexing for Information Retrieval (Woods, 1997), Information Extraction (Hobbs, 1996) serta aplikasi yang marak dikembangkan akhir-akhir ini, Semantic Web (Berners-Lee, 1998).
Begitu banyak aplikasi bahasa alami yang telah dikembangkan dalam berbagai bahasa khususnya bahasa Inggris, namun aplikasi pengolah bahasa yang menerapkan bahasa Indonesia belum berkembang. Berbeda dengan kebanyakan sistem lain yang bersifat generik, teknik-teknik yang digunakan dalam Pemrosesan Bahasa Alami bersifat language dependent. Suatu sistem atau teknik yang berlaku untuk suatu bahasa tidak mudah diterapkan untuk bahasa lainnya.
            Pemrosesan Bahasa Alami bertujuan untuk memahami arti dari input yang diberikan dalam bahasa alami dan memberikan respon yang sesuai. Untuk mencapai tujuan ini dibutuhkan tiga tahap proses. Proses yang pertama ialah parsing atau analisa sintaksis yang memeriksa kebenaran struktur kalimat berdasarkan suatu tata bahasa dan kosakata tertentu. Proses kedua ialah semantic interpretation atau intepretasi semantik yang bertujuan untuk merepresentasikan arti dari kalimat secara context-independent untuk keperluan lebih lanjut. Sedangkan proses yang ketiga ialah contextual interpretation atau interpretasi kontekstual yang bertujuan untuk merepresentasikan arti secara context-dependent dan menentukan maksud dari penggunaan kalimat. Penelitian ini membahas proses yang pertama.
Sebuah parser merupakan sarana pendukung yang dapat diimplementasikan dalam berbagai aplikasi pengolah bahasa supaya aplikasi tersebut memiliki pendekatan tata bahasa yang benar sehingga akan menghasilkan hasil yang baik sesuai fungsi masing-masing aplikasi karena proses parsing sebuah kalimat melibatkan penggunaan pengetahuan linguistik dari suatu bahasa untuk menemukan cara kalimat itu dibentuk (Schmidt, 1998).
Satu contoh aplikasi yang menunjukkan adanya kebutuhan akan pendekatan linguistik dalam pengolah bahasa Indonesia adalah Transtool, aplikasi penterjemah Inggris-Indonesia. Aplikasi ini belum cukup baik karena hanya melakukan pendekatan statistik dengan menghitung jumlah kata sebelum diterjemahkan dengan jumlah kata setelah diterjemahkan. Hasilnya, kalimat terjemahannya terkadang menjadi salah dan tidak sesuai dengan tata bahasa Indonesia.
Dalam rangka penyediaan sarana pendukung berbagai aplikasi pengolah bahasa, maka suatu parser bahasa Indonesia diperlukan keberadaannya. Pada penelitian ini, parser yang dibangun menggunakan metode Bottom-up Left to Right. Berawal dari input berupa berkas teks bahasa Indonesia dengan ekstensi .txt. Pada tahap awal, dilakukan pemotongan suatu paragraf menjadi per kalimat. Setelah itu dilakukan normalisasi dan tokenisasi per kalimat. Token yang terbentuk dari setiap kalimat selanjutnya diproses satu demi satu mulai dari yang paling kiri. Proses terjadi per level dalam struktur kalimat, setiap kata diberi label kelas kata, lalu dikonversikan dengan label yang telah dirumuskan dalam kamus aturan untuk membentuk level demi level gramatikal dalam kalimat. Hasil yang diperoleh divisualisasikan dalam bentuk parse tree.

Pada penelitian ini, isi leksikon berjumlah 31.096 kata dan isi Kamus Aturan berjumlah 359 aturan. Parser berhasil menguraikan 74,28% atau sebanyak 52 kalimat dari 70 kalimat yang diujicobakan. 25,72% kalimat tidak dapat diuraikan karena jumlah aturan yang masih perlu penambahan lebih lagi. Selain itu, kompleksnya tata bahasa Indonesia menuntut adanya pengembangan lebih lanjut untuk mengatasi kurangnya fleksibilitas metode ini.

Perspektif

(Awal Januari)

Dari tadi senyum terkulum dibibir demi mendengar celotehan seorang kawan lama yang sedang mengeluarkan segala unek-uneknya tentang novel Indonesia yang baru saja booming belakangan ini.
Dia yang selalu mengatakan akan selalu berdiri di tengah-tengah untuk semua sikapku yang mungkin terlalu personal untuk dikomentari. Namun saat ini aku juga ingin mengatakan padanya bahwa aku sedang berdiri di tengah-tengah untuk opininya yang menonjolkan self-defence yang maha tinggi itu.
Puas mendengar dia berkata-kata, aku mencoba mencairkan suasana hatinya yang sedang mengazab penulis novel itu. Aku katakan padanya bahwa di dalam seni itu tidak ada yang mutlak. Cara berpikir setiap orang berbeda tergantung dari sudut mana ia memandang sesuatu. Dramatisasi adalah hal yang sangat wajar.
Lalu ku katakan padanya bahwa aku ingin melakukan semacam simulasi untuk menunjukkan perbedaan pola pikir. Aku meminta padanya untuk menuliskan satu paragraf singkat tentang sebuah objek. Objek itu adalah aku. Aku yang saat ini sedang berada di hadapannya, di layar monitornya. Silahkan dia berbicara tentang aku dan juga lingkungan tempat aku berada sekarang ini. Dia menyanggupi.
Aku berpikir secara biasa saja. Dalam bayanganku dia akan bercerita tentang aku yang saat ini terlihat sangat lelah, dengan latar belakang dinding berwarna pucat dan boneka-boneka berbagai binatang di belakangku. Aku berpikir dia akan menulis tentang aku yang saat ini–bagi siapapun yang melihat– seperti salah satu penghuni kebun binatang yang lelah sehabis sirkus. Apapun yang akan dia tulis bisa saja seperti itu. Sangat objektif.
setelah beberapa lama, kawanku itu mengirim balasan berupa sebuah paragraf singkat seperti yang aku minta dengan catatan “itu saja dulu, sedang tidak ada inspirasi”.
Aku membacanya, seperti ini:
Aku melihat mama sedari tadi memperhatikan aku sambil tersenyum-senyum. Aku yakin dia mengenal temanku yang sekarang sedang berada di layar monitorku. Tapi apa yang membuat dia tersenyum aku tidak tahu. Mama semakin mendekat ke layar monitorku. Dia tertawa melihat temanku, lalu melihat aku, melihat temanku lagi lalu melihat aku lagi. Aku diam saja, tidak mengerti apa yang Mama pikirkan. Aku kembali memandang layar monitorku lalu aku menatap diriku sendiri. Aku me lihat lagi ke monitor, lalu aku melihat Mama, kami tertawa bersama-sama. Aku baru menyadari apa yang dilihat oleh Mama, temanku ini memakai tanktop warna hitam, sama dengan singlet yang sedang aku pakai sekarang.
Aku tertawa terbahak. Ternyata sangat objektif.

Serip

Pemeran utama di cangkir ini adalah kucing kami. Namanya tidak ada, Serip itu bukanlah namanya. Bukannya kucing kami itu tidak ada namanya, sering ia diberi nama olehku—anggota keluarga yang lain tidak hobi memberi nama—tetapi aku selalu lupa siapa namanya, jadilah ia sering berganti nama. Semakin sering berganti nama, semakin aku lupa.
Kombinasi warna bulu kucing kami hanya hitam dan putih, hampir semuanya berbalur warna hitam, hanya bagian moncong saja yang putih, selain itu daerah disekeliling kakinya juga berwarna putih hingga ke jemarinya, jadi dia seperti memakai kaus kaki.
Ada dua kucing, induk dan anaknya. Sebenarnya mereka milik tetangga kami yang sedang merenovasi rumah, karena peraduan mereka terganggu mereka akhirnya tidur di rumah dan hingga saat ini menjadi hak milik kami secara tidak tertulis. Mereka berdua beranak pinak, sungguh bukan pelajaran moral yang baik. Hanya kucinglah—dan setahuku hanya mereka berdua—saja yang boleh beranak pinak antara induk dan anak, incest. Manusia tidak boleh begitu. Beberapa waktu yang lalu aku lihat di televisi, seorang bocah lelaki usia belasan di kota J yang mungkin sedang pada masa puber[1] nya ditangkap polisi atas pengaduan warga karena membuat ibunya beranak. Dia pasrah ditangkap oleh polisi sementara ibunya hanya diam dengan tampang bloon menunggui Si Bayi di rumah sakit. Temanku berpendapat panjang lebar bahwa kebodohan dan kemiskinan memang alat Iblis yang terkutuk, membawa sesat banyak manusia. Sementara era informasi membawa dampak yang “hebat” bagi kaum muda bangsa, mereka bisa melihat adegan “horor” dimana-mana bahkan eksploitasi tubuh wanita sampai pada iklan pompa air sekalipun.
Tetapi dalam hatiku terbersit kata yang sederhana saja, “itu mah Si Emak yang beger[2]. Tangkap juga saja!”
Kembali ketopik utama. Kucing kami. Buah cinta mereka tidak pernah berumur panjang, terakhir kali Si Induk melahirkan empat ekor anak kucing dengan warna senada yang mati satu persatu. Anak kucing yang terakhir jatuh dari ketinggian rak-rak mie instan sehingga buta. Aku membubuhkan Visine tetes mata, dan jadi wafatlah dia. Setelah masa-masa menyedihkan itu, Si Ibu tidak pernah melahirkan lagi.
Reputasi kucing kami soal kegarangan tidak diragukan lagi. Mereka berdua bisa menyerang siapa saja bahkan dimana saja. Rekor terbaik mereka menyerang seorang dokter yang baru saja dinas di daerahku. Ibu dokter ini datang ke rumah karena mempunyai kesamaan dengan papaku dalam hal suku, agama, ras, dan antargolongan. Sekedar perkenalan, sepulang gereja mereka mampir sekalian belanja di toko.
Salah satu dari mereka—aku bahkan tidak bisa membedakan yang mana induk yang mana anak—duduk santai dengan angkuhnya di atas salah satu lemari pajangan kami yang hanya setinggi dada orang dewasa itu. Ibu dokter selesai berbelanja dan pamit pulang. Ibu dokter tidak hanya pamit pada papa dan mama tetapi juga pada kucing kami. Ibu dokter menyapanya seperti menyapa anak balita.
“Pus…puss….” ia memanggil-manggil kucing kami sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mendekat ke arah Si Kucing.
“Jangan didekati ito[3]. Ganas itu.” Papaku memperingatkan, namun terlambat. Grawwwwwww!!
Ibu dokter pun pulang dengan hidung sompel dan berleleran betadine. Kali ini tanpa menoleh pada Si Kucing.
* * *
Belakangan ini kinerja kedua kucing itu menurun. Mereka tidak seagresif biasanya, bahkan kecoa melintas di depan hidung mereka dengan leluasa. Mamaku mengeluhkan biaya perawatan mereka dibanding jasa mereka yang tidak setara. Toko kami memang sasaran empuk tikus, itu kenapa kehadiran kucing yang agresif sangat dibutuhkan.
Siang itu, saat aku dan mama bekerja seperti biasa, Si Kucing lewat, berhenti dan menjilati kaki mama. “Dasar Serip!!” bentak mama sambil menendangnya untuk menjauh.
“Siapa Serip, Ma? Salah satu pacar mama dulu?” tanyaku.
“Sembarangan,” mama tertawa. Tawa khas mama. “Serip itu nama kucing Emak[4] dulu. Sama kaya begini, pemalas setengah mati.” Jelas mama.
Sebenarnya Serip itu adalah nama orang. Tepatnya seorang pria yang terkenal dengan kemalasannya. Tubuhnya gemuk, hasil tidur sepanjang hari. Tidak punya pekerjaan dan bergantung pada istri dan belas kasihan orang atau tepatnya kebaikan orang. Dia tidak suka meminta-minta, hanya saja kalau ia lapar dan ingin makan sementara istrinya belum pulang dari ladang atau sawah, ia akan pergi ke rumah orang lain. Karena rumah emakku yang campur pabrik itu terbuka lebar, maka rumah emakku adalah tujuan utama. (Dalam hal ini aku heran, anak emak dan engkongku ada sembilan orang ditambah mereka berdua jadi sebelas, ditambah begitu banyak yang iseng-iseng nebeng makan, berarti harus berapa banyak Wak Oge, penolong di rumah emak masak setiap hari?)
Kucing emak itu pun berbadan tambun dan pemalas. Jadilah ia pada setiap kesempatan dapat komentari, seluruh penghuni rumah akan menyebutnya Serip. Dan lama-kelamaan namanya menjadi Serip.
Kepribadian Serip—manusia—ini mungkin memang tidak menyenangkan. Tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga dipertanyakan. Namun ada sesuatu tentang Serip yang diceritakan mamaku dan menjadi sereguk teh yang mengalir dan membekas di pikiranku.
Zaman dulu, sekitar tahun lima puluh hingga enam puluhan—mamaku masih remaja beranjak dewasa—ada banyak tragedi yang mengawali kemerdekaan bangsa kita tercinta ini. Ada Gestapu (Gerakan tiga puluh september yang mengatasnamakan PKI), Permesta, Ratu Adil, dan PRRI. Gerakan PRRI lah yang menyumbangkan luka untuk insan di Lebong, sebenarnya gerakan yang lain seperti PKI juga tetapi kisah Serip ini berhubungan dengan PRRI.
Putera daerah sendiri yang mengatasnamakan diri mereka sebagai PRRI dan melakukan tindak kejahatan terhadap saudaranya sesama warga Lebong sendiri. Mereka mencuri ternak, barang-barang berharga, bahkan anak-anak perawan. Mereka membawa hasil rampasan ke dalam hutan dan bersenang-senang. Setelah pemberontakan ini berhasil digulingkan oleh TNI, anggota PRRI ini dicari dan dibersihkan hingga ke akar-akarnya. Cara pembersihan pun dilakukan dengan cara yang unik. Aku tidak tahu apakah benar cara ini yang dilakukan, tetapi inilah yang disampaikan mulut ke mulut dan turun temurun.
Para “pemberontak” ini dibawa dengan mobil pada malam hari, masing-masing mereka diikat dimasukkan ke dalam karung dan diikat lagi dengan erat. Karung-karung manusia ini akan dibariskan di pinggir jembatan Tunggang yang dibawahnya mengalir sungai Kotok. Aliran sungai Kotok ini akan bergabung dengan aliran sungai putih yang selanjutnya akan bermuara ke laut lepas.
Satu persatu mereka akan ditembak, dan byurrr….tubuh mereka akan ditelan oleh sungai Kotok dan kisah mereka akan lenyap seiring hanyutnya tubuh mereka terbawa arus sungai yang keruh itu. Tragis bagi Serip, salah satu yang ditembak itu adalah puteranya yang tak mampu dia lindungi.
Semua merasa simpati dengan Serip. Ayah yang mungkin kepribadiannya tidak disukai ini berjalan berhari-hari menelusuri arus sungai berharap anaknya bisa dia temukan dan dimakamkan sebagai manusia terhormat. Tetapi nihil.
Aku merasakan kekosongan di hati ayah ini. Sisi manusianya tetap tidak dapat diganggu gugat meski sikapnya tidak menyenangkan.
Kadang aku berkhayal sedikit mendramatisir adegan pencarian Serip di sepanjang sungai itu. Aku membayangkan disuatu senja saat ia menelusuri sungai itu. Langit ungu merah menjelang malam dan orang-orang Bunian[5] dari seluruh penjuru Bukit Barisan keluar dari persembunyian mereka dan menggoda Serip denga membuatnya berhalusinasi melihat puteranya memanggil-manggilnya untuk mengajaknya mandi dan berenang di sungai Kotok seperti yang Serip lakukan dulu sewaktu Si Anak masih kecil. Dengan hati yang separuh hampa Serip akan terjebak dengan khayalan indah itu dan meleburkan dirinya ke sungai. Lalu orang-orang Bunian akan membawa Serip ke negeri mereka dimana di situ telah duduk puteranya menunggu kedatangan Sang Ayah.
Paling tidak aku berharap sekalipun tidak berhasil menemukan anaknya, Serip akan pulang ke rumah dengan perubahan yang luar biasa. Dia akan jadi rajin dan memperbaiki kelakuannya. Lebih menyayangi istri dan keluarganya.
Stop! Ini justru hanya halusinasiku. Aku yang terlalu menginginkan agar Serip berakhir dengan cara yang sedikit heroik untuk menutupi kelemahannya selama ini. Lebih baik aku bertanya.
“Lalu apa Serip bertemu dengan mayat anaknya, Ma?” tanyaku penasaran. Mama menggeleng sambil tetap memperhatikan jarum pada neraca yang ada di hadapannya.
“Lalu apa yang Serip lakukan?” aku tidak puas dengan jawaban mamaku—salah satu kebiasaan mamaku, dia harus dipancing untuk bercerita kadang itu membuatku tidak sabar.
“Ya, pulang ke rumah, dong.
“Lalu?” aku sedikit kecewa dengan akhir yang seperti itu.
“Malas-malasan lagi.”
Akhirnya aku benar-benar sangat kecewa. Aku menendang kucing yang masih tetap meringkuk di kaki mamaku itu. “Dasar Serip!!”
* * *

Mai

“Susu formula bayi usia enam bulan ada, ” tanya seorang pria muda usia tiga puluhan. “Aku mau yang seratus lima puluh gram saja.” Lanjutnya.
“Tidak mau yang tiga ratus gram saja? Kau bisa menghemat harga untuk lima puluh gram loh,” jawab mamaku. “isinya dua kali lipat dan harga yang jatuh lebih murah.”
Pria itu tersenyum. Sebuah senyum yang menjawab semuanya. “uangnya tidak cukup.” Kira-kira begitulah arti senyumnya.
Mamaku tidak lagi bertanya apa-apa. Mama memasukkan susu yang dimaksud ke dalam sebuah kantong plastik hitam dan memasukkan satu kotak roti bayi juga ke dalamnya, “untuk anakmu.” Bisik mama. Pria itu tersenyum malu, membayar susunya lalu pergi setelah mengucapkan terima kasih yang dalam.
“Permainan hidup itu kadang menyakitkan.” Ujar mamaku, sambil menatap punggung pria itu. Aku masih diam. “Lihat Andreas itu. Jadi kuli. Lusuh, kotor, lebih tua dari pada usianya.” Lanjut mama, aku masih tetap diam. Ada rangkaian ingatan yang terbersit di pikiranku. Tetapi tak terangkai jelas.
“Kau masih ingat Mai?” tanya mama. Ya, aku mengerti sekarang. Aku mengangguk.
* * *
Mama lalu berkisah tentang Mai. Dimulai ketika orang tua Mai ini adalah salah satu figur non-pribumi yang sukses dan berhasil di tanah Lebong.
Sekedar informasi, Lebong ini dulu adalah negeri yang kaya susu dan madunya. Susu dan madu itu warnanya kuning. Kau tahu? Emas. Kejayaan pertambangan emas di Lebong bukan isapan jempol atau mitos saja. Sekarang memang hanya tinggal bukit batu saksi bisu yang bolong berkilo-kilo meter di bawah permukaan tanah, tetapi itu adalah bukti bahwa ada yang orang ambil cari hingga segitu dalamnya menggali.
Pekuburan Belanda yang ada di dekat sana adalah salah satu bukti bahwa kumpeni ini sungguh hebat dalam hal eksplorasi dan eksploitasi. Tiga ratus lima pu luh tahun mereka menjadi predator ternyata Lebongyang nun jauh terpencil di ujung peta ini juga tidak lepas dari pandangan matanya. Hingga sampai ada dari mereka yang mati dan terpaksa di kubur di sana. Dari kisah-kisah yang dilantunkan guru-guru produk zaman kuna, kumpeni berhasil membawa lebih dari dua ton emas Lebong ke negerinya untuk mengecor laut! Membuat pekarangan mereka semakin luas.
Kekayaan Lebong ini juga mendatangkan banyak perantauan dari negeri asing seperti kakek buyutku, dan juga banyak orang lain yang sebangsa dengannya untuk berjuang di dunia emas Lebong. Meskipun begitu, mereka adalah pedagang sejati, bukan pendulang emas. Mereka adalah orang-orang yang memanfaatkan kekayaan ini untuk mengembangkan bisnis.  Mereka hidup dan membentuk sebuah koloni dan akhirnya mati di Lebong tanpa pernah sempat kembali ke negerinya.
Itulah mengapa pada zaman kuna, peradaban Lebong tidak bisa terlepas dari peranan koloni orang-orang Cina ini. Sewaktu aku masih kecil mungkin banyak teman-teman yang menertawai dan mengatai aku Cina kulup[1], mungkin mereka tidak menyadari bahwa nenek atau ibu mereka belajar di sekolah-sekolah yang dibangun dan digembleng oleh orang-orang Cina yang kala itu terkenal keras namun cerdas. Sayangnya, saat mamaku naik ke kelas dua es de para pendidik ini tergusur oleh kebijakan Sekolah Rakjat yang dimiliki oleh pemerintah. Para guru dan pemikir hebat ini kehilangan pekerjaan.
* * *
Aku bercerita panjang lebar tentang peranan Cina di Lebong ini hanya untuk mengatakan padamu bahwa bapaknya Mai ini adalah salah satu penyumbang “peradaban” Lebong. Dia adalah seorang pemimpin Orkestra!
Sungguh hingga saat ini aku sulit untuk memahami bahwa Lebong pernah punya biografi tentang seni musik. Sesuatu yang mustahil jika melihat kehidupan seni di Lebong sekarang.
Kakeknya menguasai berbagai macam alat musik mulai dari yang tiup, petik hingga gesek. Dia memberikan pelajaran musik bagi siapa saja yang ingin belajar musik. Datang ke sanggarnya atau minta dia mengajar privat di rumah. Beliau seorang guru musik yang bertangan lidi alias sedikit salah pecut pakai lidi.
Dalam periode tertentu dia akan mengadakan pertunjukkan di gedung pertemuan yang berada tepat di depan rumahku saat ini. Sedari dulu itu memang gedung multifungsi. Semua anak-anaknya akan bermain musik, termasuk anak-anak perempuan. Ada sesuatu dikatakan mamaku yang membuat aku tidak percaya. Ada seorang perempuan yang sedari ia kecil sering main bersama orkestra itu. Kadang ia bermain gitar, kadang bermain biola. Luar biasa sekali pada zaman itu.
Dialah Mai.
Sesulit-sulitnya aku berpikir bahwa Lebong pernah menjadi hebat soal musik, lebih sulit lagi aku untuk percaya bahwa Mai pernah begitu keren pada zamannya. Semua itu karena aku tidak mengenal seorang Mai yang pemusik. Bukan sebagai orang yang biasa dikagumi. Bukan. Bukan siapa-siapa.
Pamor orkestra yang dipimpin bapaknya dulu tidak lama. PRRI merampas semua peralatan musiknya, dibawa lari masuk hutan. Habis tak berbekas. Setelah kejadian itu bapaknya tampak tak waras. Kadang dia berbicara sendiri, menggerak-gerakkan tangan seolah memimpin orkestra. Sampailah ia mati. Sungguh lebih kejam penjajah dari bangsa sendiri. Sebenarnya jika kita ingin berbicara lebih adil, semua tokoh PRRI ini adalah para pejuang kemerdekaan, para pembela NKRI. Mereka bergerak untuk memperbaiki ketimpangan pembangunan. Namun selama kita belajar sejarah dahulu–mungkinkah kini sudah dikoreksi–kita tahu bahwa PRRI disebut-sebut sebagai pemberontak. Jika melihat apa yang mereka lakukan pada contoh kecil seperti Mai, mungkinkah ada alasan? Tidak tahu, aku tidak ingin membahas itu. Aku ingin bercerita tentang Mai. Hanya tentang Mai saja.
Setelah itu kehidupan berubah buat mereka. Tidak ada lagi jalan bagi mereka mengapresiasikan gemuruh sedih, senang, marah, cinta, puas, dan kecewa.
* * *
Aku keheranan melihat empat sosok adik beradik itu. Aku mempunyai impresi yang kuat kalau mereka itu berasal dari dunia lain. Mereka duduk di beranda rumahku, minum es campur. Tidak seperti pembeli lain yang makan, bayar, pergi, ibu mereka ini seperti punya hubungan yang khusus dengan mamaku. Tampak mereka berdua sedang bicara di dalam.
Awalnya aku tak tahu bahwa itu adalah ibu dari anak-anak yang bergerombol makan di berandaku. Malasahnya mereka seperti langit dan bumi.
Sang Ibu seorang wanita putih dan kurus, nyaris kurus kering yang masih menyimpan sisa kecantikan masa mudanya. Sebenarnya belum juga terlalu tua, tetapi tampaknya kehidupan ini telah menderanya sedemikian rupa sehingga ia menjadi sangat lelah berjuang untuk sekedar bertahan—jangankan menang. Wanita ini sepertinya sedang memakai pakaian terbaik yang ia miliki untuk datang ke pasar yang berada di ibukota kecamatan ini. Aku tahu saja bahwa ia memakai pakaian terbaik, pasalnya bajunya masih sangat bagus tetapi mode baju terusan hingga di bawah lutut dengan lengan tujuh perdelapan yang bergelembung itu sudah tidak dipakai lagi oleh wanita zaman ini. Itu mode tahun enam puluhan. Wanita sekarang lebih suka pakaian yang lebih dinamis, yang tidak akan membuat selangkangan terasa dingin saat berjalan.
Namun anak-anaknya hitam-hitam. Legam. Seperti tidak terlahir dari rahim wanita itu. Mereka masing-masing memakai kemeja krem—aku yakin dulu berwarna putih—dengan celana pendek berbahan tebal yang kelihatannya panas sekali, malah si bungsu yang tampaknya seusia denganku itu memakai celana yang kebesaran, mengkerut di pinggang sebelah kiri karena ikat pinggang yang lebih mirip bilah bambu itu memaksa celana itu untuk bergantung di situ. Mereka semua memakai kaus kaki sepak bola yang tinggi hingga lutut, berwarna-warni. Namun dengan sepatu kain hitam dengan sol berwarna merah jambu. Persis, milik Wong Fei Hung. Intinya, satu kata sajalah, udik.
Aku ingin tertawa melihat anak-anak yang berebut makan es campur—bahkan memakan sumbu pada tapai ubinya—dengan senang sekali. Akhirnya aku berlari ke pangkuan mama yang sedang berbicara dengan wanita itu. Aku melompat dan berbisik-bisik—mungkin bukan berbisik karena wanita itu mendengar—di telinga mama.
“Ma, anak-anak di depan itu udik sekali.” Kata ku. Wajah mama memerah. “Husss!.” Gertaknya pelan di telingaku sambil tersenyum pada wanita itu. Wanita itu tertawa lebar.
“Oh, ini si bungsu ya… seusia dengan Eduar,” dia mengelus pelan kepalaku, “sudah besar kau, nak. Lama juga ii [2] tidak melihatmu.” Dia mengajakku duduk di pangkuannya tetapi aku tidak mau. Aku tidak pernah mau dekat dengan orang asing.
Wanita itu tersenyum mengerti.
“Kalau ii sih tidak punya anak perempuan, itu mereka lelaki semua sedang makan es di luar” sambungnya.
Oh, tidak. Berarti tadi aku telah mengatakan hal yang buruk tentang anaknya pada mama. Aku malu.
* * *
Setelah peristiwa itu Mai sering datang ke rumahku. Tidak bersama semua anaknya, kadang sendiri kadang hanya bersama Si Bungsu, Eduar.
Ternyata waktu itu dia datang untuk bernegosiasi dengan mamaku. Dia ingin memasok kayu bakar, jenis kayu kopi. Mama membutuhkan banyak kayu bakar untuk anglo[3] nya yang berukuran besar karena mama merebus mie dalam jumlah yang banyak setiap hari. Tidak tahu mengapa mama menyetujui perjanjian dagang dengan Mai, mungkin karena merasa sebagai saudara sebangsa yang harus tolong menolong. Jika datang ke rumahku Mai tidak pernah datang dengan tangan kosong. Rambutan, semangka atau makanan apa saja pasti dia bawa untukku. Aku menyukai Mai. Bukan karena makanan itu, tetapi keramahan, kelembutan yang terus terpancar di sela-sela kesusahannya.
Tidak hanya sebatas perjanjian dagang saja, Mai juga semakin sering terlihat di gereja hari minggu dan di persekutuan wanita hari selasa. Pernah juga aku ikut dengan mama ke persekutuan wanita yang hari itu digilir di rumah Mai.
Rumahnya jauh. Paling tidak empat puluh lima menit mengendarai mobil. Memang rumahnya—tepat lagi kalau disebut gubuk—itu terletak di pinggir jalan tetapi sekelilingnya itu hutan yang diselingi perkebunan kopi. Ada sungai putih yang mengalir bening di belakang rumahnya. Hingga saat ini, sungai putih di belakang rumahnya itu menjadi tempat favorit bagi orang-orang yang ingin bersantai, berenang dan melepas lelah di daerahku.
* * *
Mai sakit. Lama dia tidak terlihat. Kata mama itu dia sakit paru-paru. Aku merindukannya.
Sampai suatu hari papa tampak bergegas bersiap-siap pergi. Ditangannya ada kain putih yang tampak tebal. Aku dengar mama berkata pada papa, “Cukup kafan selebar itu?”. Mama juga akan pergi, aku tak diajak. Kata mama mungkin di sana banyak bibit penyakit, anak kecil bisa jadi mudah terinfeksi. Mai meninggal.
Demikianlah akhir hidup seorang Mai. Ibu yang kuat dan luar biasa itu kalah oleh penyakitnya, namun menang dalam iman kepada Tuhan yang disembahnya. Aku tahu itu, tahu pasti.
Jika dulu Mai begitu disanjung karena cantiknya, karena kehebatannya bermain musik sekarang dia pun meninggal dalam keadaan yang menyedihkan. Sakit, miskin, dan terbuang dari pergaulan. Terkucil di pinggir hutan.
Sepeninggal Mai, delapan orang anak-anaknya berhamburan terpecah belah, lelaki dan perempuan semua berjalan dengan kepala sendiri. Semua putus sekolah selain Eduar yang justru kala itu belum bersekolah. Seperti anak ayam kehilangan induk. Mereka benar-benar kehilangan pegangan. Sosok yang tegas dan kuat. Bapak mereka tak mampu gantikan itu.
* * *
Kami menatap kepergian Andreas yang semakin lama semakin menjauh mendaki jalan yang menanjak itu. Sekian belas tahun yang lalu aku melihat Andreas sebagai salah seorang anak kecil yang berebut makan es campur bersama saudara-saudaranya di beranda rumahku. Hari ini aku melihatnya lagi sebagai pria dewasa yang didera kerasnya hidup sama seperti ibunya dulu. Sayang, tak satu pun dari delapan orang itu yang mewarisi keterampilan ibu dan kakeknya. Mungkin mereka cerdas, tetapi tak berkesempatan. Mereka hanya menjadi sisa kejayaan masa lalu yang tak pernah mencicip sepotongpun kesenangan dari kejayaan itu. Lebih lagi jika ku katakan iman dapat diwariskan, maka tak satupun dari mereka yang meniru kesetiaan Mai pada Tuhannya. Tapi masalah iman ini urusan pribadi mereka.
Entah apa yang akan diwarisi pada anak yang dibelikannya susu itu kelak. Mungkinkah suatu hari, suatu waktu nanti terputus juga garis dera itu?