Sewaktu kecil aku sangat kecil.
Tentu saja ya, maksudku dibanding teman-teman sebayaku, aku tergolong kecil.
Kelas lima SD saja aku masih seratus dua puluh lima senti, sementara yang lain
mencuat hingga seratus empat puluh. Ada banyak kejadian menguntungkan dengan
tubuh kecil ini. Saat bermain petak umpet aku bisa sembunyi di tempat-tempat yang mustahil
termasuk dibelakang punggung teman yang jaga. Saat main civilization, yang jadi
raja penguasa adalah anak yang bisa memanjat pohon belimbing—yang dianggap singgasana—tercepat,
tentu aku sering jadi penguasa karena naik pohon dengan tubuh kecil itu tidak
sulit, yang sulit itu kalau turun dari pohonnya karena aku harus membuang badan
akibat kaki tak sampai. Saat main kejar-kejaran, mungkin aku yang paling sulit
dikejar karena tubuh yang ringan membuat alam dengan mudah membuatku berlari,
terhembus angin. Macam-macamlah, pokoknya enak.
Dari semuanya aku paling suka
sembunyi. Jangan salah, bersembunyi itu membutuhkan kepiawaian tingkat tinggi
serta kreatifitas juga ya. Dan semakin kita dewasa kita menyadari bahwa
kebutuhan kita untuk bersembunyi itu semakin tinggi. Percayalah. Apalagi yang
banyak berhubungan dengan debt collector.
Dulu waktu aku masih kecil,
mungkin sekitar empat tahunan aku menemukan keindahan persembunyian ini. Aku
berbuat nakal sehingga dimarahi Papa dan Mamaku secara berbarengan. Situasi ini
sulit karena tidak ada yang pro padaku, aku menangis dan diam-diam masuk ke
bawah meja makan. Meja makan kami besar dan ada banyak barang di bawahnya seperti
karung beras, kotak-kotak bahan makanan dan sebagainya. Aku tidak berani
menangis keras-keras karena aku pasti akan ditarik keluar dari sana sementara
yang aku butuhkan adalah sendiri. Aku tertidur disana dan ketika aku terbangun
aku mendengar Papa, Mama dan pengasuhku ribut-ribut mencariku. Kekhawatiran
mereka itu terasa sekali, Mama mulai menyalahkan Papa sehingga Papa memakai
sendalnya dan mencariku ke rumah nenekku dan pengasuhku sibuk mencari ke
tetangga. Aku masih diam melongo di bawah meja. Papa pulang dan berkata dia
dimarahi nenek, pengasuhku pun pulang tanpa hasil apa-apa.
Saat bersembunyi itu aku merasa
banyak hal bisa terlintas dibenakku dengan seksama. Aku bisa memikirkan mengapa
tingkah-tingkahku dipandang konyol oleh orang dewasa. Aku lalu bisa melihat apa
yang menarik bagi orang dewasa, harga-harga yang naik, kualitas kayu bakar yang
jelek, pokoknya segala sesuatu yang mungkin tidak kau “dengar” dengan seksama
ketika berada dan terlibat disana. Ketika kau disana, sadar atau tidak yang kau
pikirkan adalah apa yang kau mau bukan yang setiap orang mau.
Aku ingin bilang bahwa sembunyi
yang kumaksud itu tidak melulu secara harfiah ketika kau berada ditempat yang
tidak terjangkau oleh kesadaran orang lain tetapi sembunyi juga saat orang lain
tidak menyadari bahwa kau ikut serta secara pasif di dalam suatu situasi.
Contohnya, aku sudah terbangun pagi-pagi dan aku tahu bahwa orang tuakupun
sudah bangun dan ngobrol sambil tidur-tiduran. Aku mendengar mereka
membicarakan anak-anak mereka, bagaimana rencana sekolahnya dan sebagainya.
Untuk itu aku tidak membuka mata,aku tetap saja diam dan berpura-pura tidur
sampai akhirnya yang aku tunggu datang...mereka membicarakanku! Tentang
sekolahku bahkan sampai kenakalanku. See? Sembunyi = Quality Time = Quiet &
Thinking. Tentu baik untuk seseorang untuk mengembangkan komunikasi
intrapersonalnya.
Just like today, aku merasa
sangat penat dan merasa membutuhkan waktu hening sejenak. Aku sudah lama tidak
hening. Pulang kerja juga masih melakukan ini itu, persiapan ini itu, bikin
tugas ini itu. Aku butuh waktu diam di bawah meja Mamaku. Wanna hide under my mom’s desk, kutulis seperti itu sebagai status
di blackberry messenger, seorang teman masa kecil yang sekarang badannya
besaaaaaaaarr sekali mengirim pesan singkat. Ilham.S.P: Or behind me?