Pages

26 April 2011

Guru

Beberapa waktu ini istilah sintaksis selalu menghantui saya, membuat saya tidak dapat tidur, tidak nafsu makan, berkeringat, dan sampai alergi datang setiap stamina saya turun karena memikirkannya. Sintaksis…sintaksis..dan lagi-lagi sintaksis. Sekedar informasi bagi anda, sintaksis adalah salah satu cabang ilmu bahasa Indonesia yang mempelajari kalimat, klausa, dan frase. Bagaimana suatu kalimat itu dibentuk dalam suatu konteks tata bahasa baku. Mau muntah saja rasanya, belum pernah aku sadari sebelumnya bagaimana bahasa Indonesia begitu rumit, jelimet, ruwet tetapi aku harus merumuskannya supaya struktur itu bisa diolah secara sistematis.

Mungkin aneh jika mahasiswa teknik mengulik dan ngoprek tata bahasa karena memang tidak dibahas di mata kuliah teknik (kecuali oprek source code), namun ada perkecualian buat saya. Saya memilih membuat suatu aplikasi parsing untuk skripsi dan bisa ditebak yang parsing disini adalah sintaksis dalam bahasa Indonesia.

Bagaimanalah caranya mengatakan pada anda bahwa ini teramat sulit buat saya. Mengutip ucapan seorang sarjana bahasa yang mengatakan sintaksis adalah momok untuk mahasiswa bahasa sendiri mungkin juga kurang menyeramkan bagi anda. Namun begitulah adanya, ini s.u.l.i.t.

Begitulah setiap hari saya berusaha melihat subjek, predikat, objek, keterangan, pelangkap dari kacamata teknis. Sehingga begitulah hari-hari saya seperti kembali lagi ke masa lebih kurang sembilan tahun yang lalu saat duduk di salah satu kelas di lantai dua SMP Negeri 1 Muara Aman. Beliau ada di depan saya, mengenakan batik lengan panjang, kacamata, dan ciri khas kerut di wajahnya yang dengan tersirat mengatakan pada semua orang bahwa ini masa-masa menjelang pensiunnya.

Seingat yang bisa saya ingat, beliau tidak pernah mengajar menggunakan buku apapun, tidak pernah mengajari kami menjawab pertanyaan dari wacana-wacana, tidak pernah mengajari kami tafsir puisi atau karya sastra, tidak pernah mengajari kami membaca grafik, atau berdebat. Setiap mengajar yang beliau lakukan adalah menulis di papan tulis dan menjelaskan apa itu kalimat, apa itu objek, apa itu predikat, bagaimana sebuah kalimat itu bisa memakai pelengkap….dan poor me, baru menyadari bahwa yang saya oprek sekarang ini adalah semua yang beliau pernah ajarkan.

Siapa bilang dulu saya memperhatikan apa yang beliau jelaskan? Sama sekali tidak, begitu juga saya rasa dengan teman-teman yang lain. Beliau sudah sepuh, suaranya tidak lagi merata ke seluruh penjuru kelas, bahkan cenderung tidak mendengar kalau ada yang berciap-ciap makan keripik atau main catur di belakang.
Setiap selasa pagi dijam pertama beliau selalu terlambat masuk karena hari itu adalah jadwal pengobatannya, melegakan sesaat karena beliau tidak pernah tidak datang. Dan yang paling membuat saya kesal adalah saya tidak pernah mendapat nilai yang bagus untuk bahasa Indonesia selama beliau mengajar, bagaimana tidak….saya tidak bisa mengarang indah dan juga tidak bisa mencontek setiap kali ujian. Soal ujian tidak pernah dirancang seperti itu, soal ujian selalu membuat kalimat berbagai macam jenis, apa iya jawaban satu kelas sama semua?

Membuat kalimat kalau yang memerintahkan beliau tentu saja tidak mudah, paling tidak…tidak mudah untuk anak yang tidak memperhatikan sama sekali pelajarannya. Suatu kali saat sedang asyik menggambar beliau memanggil namaku dari absensi dan mengulurkan tangannya untuk menyerahkan spidol…”tuliskan kalimat yang menggunakan pelengkap penderita”….alamak, pelengkap?? okelah..tapi apa iya ada pelengkap yang menderita?? *tenggorokanku tercekat*

Dilain waktu lagi saat beliau sedang mengajar, saya dihasut untuk menghentikannya. Konon katanya ingatan beliau sudah tidak begitu baik, jadi kalau ada jeda disaat beliau sedang menjelaskan itu akan membuat beliau lupa apa yang tadi telah dikatannya terakhir. Caranya adalah dengan menjatuhkan kotak pensil kaleng milik teman sebangku saya ke lantai. Sebuah konspirasi yang sukses…saya menggeser kotak itu pelan-pelan dan praaaaang…..beliau kaget dan berhenti, dan sisa jam pelajaran itu beliau duduk dan membaca di mejanya, tidak ada perintah membuat kalimat hari itu.

Beberapa waktu lalu saya mencari-cari guru diberbagai sekolah untuk bisa diskusi tentang sintaksis namun tidak mudah. Sosok beliau yang berharga sebagai aset pengajar hebat masa itu baru bisa saya pahami saat ini. Mengapa anak-anak di usia saya kala itu cenderung ingin bersenang-senang dengan kondisi null tanpa belajar. Mengapa anak-anak diusia saya kala itu tidak menyadari bagaimana orang-orang seperti beliau ini adalah potongan-potongan yang akan membentuk diri.

Seorang guru tidak akan pernah menjadi sama dengan konglomerat, jenderal bintang tujuh, selebritis, atau siapapun tapi karya mereka juga tidak akan pernah senilai dengan karya siapapun. Diri kita saat ini adalah karya mereka, prestasi kita saat ini adalah prestasi mereka walaupun apa yang telah mereka berikan tidak sepenuhnya diapresiasikan dengan pantas. Bukan hanya dengan materi yang pantas (yang resmi dari pemerintah), namun penghormatan dan penghargaan yang pantas dari…kita.

Beberapa waktu yang lalu sempat booming rangkaian Laskar Pelangi yang dipersembahkan untuk ibu Muslimah, saya masih ingat bagaimana Andrea Hirata di kick Andy tidak dapat berkata satu patah kata pun saat Andy Noya mempersilahkannya mengatakan sesuatu kepada ibu Muslimah di studio, matanya hanya berkaca-kaca. Apakah ada seorang Andrea tanpa ibu Muslimah? apakah ada Aristoteles tanpa Plato? adakah Plato tanpa Socrates? dan apakah ada kita tanpa guru-guru kita? masih ingatkah anda pada mereka?
Saya tidak mengatakan bahwa kita juga harus melakukan hal yang sama dan spektakuler dalam berterima kasih, namun kita bisa melakukan banyak hal lain yang akan lebih berguna untuk menciptakan kehidupan masa depan yang lebih baik yang tentunya andapun mengharapkannya. Semua itu karena perubahan bukan di tangan orang lain, bukan ditangan pejabat tetapi dari tangan kita. Dari tangan kitalah akan ada anak-anak yang tumbuh, mereka layaknya menjadi pribadi-pribadi baru yang berkualitas, mereka adalah “guru-guru” baru di masa depan yang penuh dedikasi. Pertanyaannya, siapkah kita menciptakan iklim yang baik untuk mereka tumbuh subur dan berbuah manis?

M.A.B
Terima kasih yang tulus kepada seorang guru bahasa Indonesia terhebat yang pernah ada, Alm. Djohan Sjahri.
(maafkan saya soal kotak pensil kaleng itu, Pak)

2 comments:

  1. siip…
    bahasamu jernih, seneng bacanya!
    trims mel..!

    ReplyDelete
  2. Terima kasih kembali ya Pak Guru, anda juga bagian dari ini, anda salah satu yang mengajari saya berapresiasi, apresiasi anda lebih sangat jernih (Kelas Apresiasi Seni, Film RAN)

    ReplyDelete