Pages

26 April 2011

Teman Baru

Seolah tidak mempercayai ketidakberadaannya, aku membuka-buka kembali semua isi laptopku. Hampir setengah jam dan benarlah kalau aku tidak menemukannya. Berkas-berkas tulisanku telah hilang. Aku ingat beberapa tahun lalu, wanita tokoh emansipasi negeri langit ini mengeluh karena seseorang telah mencuri laptopnya. Dia merasa sangat sedih campur kesal bukan perkara nominal benda itu tetapi karena semua tulisannya, pikirannya dan pekerjaannya telah muntah semua ke dalamnya. Aku juga sudah lupa sejak kapan aku mulai menulis. Seingatku isi buku catatan butut yang menuntut untuk pensiun itu sudah ku wariskan ke dalam laptopku ini dan per hari ini kunyatakan semuanya resmi raib. Direktori C nya sudah dengan sukses di format ulang, diganti dengan angka keberuntungan Si Milyuner tahun ini, se7en. Ah, tak berpanjang-panjanglah aku bercerita tentang berkas itu, hanya menambah kesedihanku saja sementara Si Tengil yang memformatnya cuma bisa senyam senyum ditambah sedikit ekspresi agak menyesal yang menjengkelkan. Masa iya yang diback up hanya source code nya yang aneh dan bejibun itu. “Ah, samalah nasib kita, Inang. Marilah kita mulai lagi dari file pertama dan huruf pertama” kataku dalam hati pada wanita senasib itu.

Hari ini aku punya cukup semangat untuk memulainya lagi. Aku ingin memulainya lagi dengan sebuah perasaan cinta. Setelah aku jatuh cinta pada pria kedua. Well, seorang temanku yang datang dari Kota Waktu memperkenalkan teman prianya  padaku. Awalnya dia hanya ingin memberikan sesuatu yang akan membuatku mengingatnya, yah begitulah tebakanku atau paling tidak dia ingin membalas penyambutanku untuk kedatangannya di Kota Debu ini. Aku menolak. Bagaimanapun menerima sesuatu itu menerbitkan rasa sungkan. Lalu dia berdalih akan menganggapnya sebagai utang, bah diberi saja aku sungkan apalagi disuruh menganggapnya sebagai utang. Tidak, tidak terima kasih. Kita bertemanlah, yang namanya teman itu jarang sekali bayar utang, bagaimana nanti jika aku tak bayar. Apalagi setiap hari kalau bekerja yang aku urus itu jutaan orang yang hobinya utang, cukuplah itu. Ujung-ujungnya dia bilang akan meminjamkannya. Nah, aku tambah bingung. Kau itu hidup di Kota Waktu sementara aku ini di Kota Debu, meski kita sama-sama di Negeri Langit ini tapi persoalan kirim mengirim ini akan membuatku bingung. Sudah tak sempat lagi berdebat, tahu-tahu saat makan malam temannya yang unik tanpa label harga ini sudah ada saja di hadapanku.


“Ini bukan sekuler” Katanya. “Lebih tepat kalau disebut spiritual, yah spiritual kritis.” Lanjutnya dengan senyum kemenangan menikmati kepasrahanku. Aku menatap pria yang dibawanya, ternyata jauh lebih muda dari Si Tua Nietzsche yang pertama kali ditawarkannya. Aku tertawa dalam hati, apakah ini karena efek dari matanya yang salah direparasi itu ya? Masa yang dikenalkan padaku itu justru pria berjari dua belas yang katanya spiritual? Sejak kapan dia doyan membahas hal-hal spiritual padaku? Selama ini di surat-surat panjang kami, tidak sedikitpun hal-hal spiritual itu dibahas karena perbedaan mendasar itu sudah menegaskan diri dari awal sejak kami saling kenal. Apa saat ini dia mau memulainya? Aku simpan saja kelucuan ini, nanti kalau tiba saatnya aku berdua saja dengan pria yang dibawanya ini, akan ku interogasi habis-habisan dan kukembalikan padanya dengan babak belur.

Selama makan malam aku tidak sempat bicara dengan pria spiritual itu, aku asyik saja mendengar temanku bersukacita membicarakan sebelah matanya yang gagal direparasi. Iya, sungguh dia itu bersukacita. Seolah dengan keikhlasannya itu dia telah menerima balasan yang baik. Mataku berkedut, temanku berhasil mentransfer perasaannya dengan baik sehingga mataku ikutan perih begini. Dia tidak berubah, selalu bersemangat selain mempunyai sifat yang kadang membuatku “jengkel” (termasuk kelak saat dia bilang pinjaman ini tidak usah dikembalikan). Dulu aku suka mengatainya dengan sadis karena kesombongannya di MOS (Masa Orientasi Siswa) sewaktu SMA plus karena senyumnya yang enteng mengatakan kami siswa kelas satu hanyalah penggembira saja dalam pemilihan ketua OSIS (mungkin dia tak tahu hati orang berkedut kisruh saat disuruh pidato dilingkungan baru yang asing). Setelah itu kami tidak banyak bicara, hanya dia sudah berubah jadi Tukang Senyum yang bau rantai karbon, mata kiri bertuliskan “AR”, mata kanan bertuliskan “MR”, sementara jidatnya penuh coret moret reaksi kimia. Tapi katanya sekarang dia sudah alih profesi. Sehari-hari mengurusi desain produk-produk utangan yang menarik untuk orang banyak, bah dosanya lebih banyak dari aku, ha, ha, ha. Aku sekadar mengurusi orang-orang yang hobi utang tapi dia yang membuat orang-orang lebih tertarik lagi untuk utang lebih banyak. Dan akhir minggu dia mengajar, transfer ilmu untuk orang banyak. Aku tertawa, ternyata akhir minggulah dia menebus dosanya itu.

Aku membawa pulang pria pinjaman temanku itu, menghabiskan waktuku sepulang kerja selama dua hari untuk menginterogasinya. Aku tak berhasil, alih-alih aku menemui maksud tersembunyi temanku itu (kalau saja temannya ini disuruhnya mempertegas “nilai-nilai kebenaran spiritual”, tak ragu aku akan mengomeli manusia Kota Waktu ini panjang-panjang) tetapi ternyata tidak begitu, aku justru terhanyut oleh kedalaman teman baruku ini. Namanya, Jati. Dia hanyalah seorang pencinta lingkungan yang dibesarkan di dalam lingkungan orang-orang beragama dan “penghayat-penghayat”. Berdiri ditempatnya sendiri dengan semua pikiran kritisnya. Kata-katanya semua hasil kutip sana kutip sini, tapi tak satupun keluar lagi dari mulutnya dengan apa adanya, selalu dengan disertai pengamatannya yang pelik dan kritis.

“Seorang spiritualis-kritis adalah orang yang sadar bahwa kebenaran selalu tertunda. Tuhan selalu merupakan misteri. Seorang spiritualis-kritis adalah mereka yang selalu memikul kebenaran. Karena itu mereka hanya menggunakan cara-cara yang satria dan wigati (bukan dengan memaksakan kebenaran itu dengan jalan kekerasan). Hanya dengan memanggulnya mereka percaya kebenaran itu bisa menyatakan diri. Mereka percaya bahwa kebenaran adalah misteri yang harus mereka pikul selamanya. Sebab hanya dengan memanggulnya misteri itu tidak jatuh ke tanah. Sebab jika misteri itu jatuh ke tanah, kita akan mengiranya sebagai teka-teki yang terpecahkan. Dan kita percaya bahwa jawabannya adalah: Hukum tuhan. Tapi, kau tahu, misteri bukanlah teka-teki. Misteri adalah rahasia yang jawabannya selalu tertunda. Misteri, kawanku, adalah dia yang jawabannya takkan pernah terpegang. Yang menempatkan kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.” Katanya.
“Sederhanakanlah bahasamu, Jati” Kataku.
“Tuhan itu misteri karena Dia tidak mau terjebak dalam kerangka berpikir manusia yang debil. Tetapi berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi lalu kau akan menjadi bukti bahwa jika memiliki iman sebesar biji sesawi saja maka kau akan bisa mencapai puncak gunung tanpa perlu memindahkannya.” Lanjutnya.

Bagiku dia memberi contoh yang baik untuk kita menggunakan pikiran dengan maksimal, itulah yang diberikan pada kita lebih dari sekedar mata yang melihat, hidung yang mencium, bibir yang mengecap, kulit yang meraba dan telinga yang mendengar. Dua hari itu aku hanya mendengar saja semua perkataannya, tidak sedikitpun aku bertanya. Seandainya dia ini wujud nyata, mungkin banyaklah harapan dalam hatiku untuk jatuh cinta, bukan karena semua kebaikannya tetapi kompleksnya sikap yang dia miliki. Aku percaya dia benar-benar spiritualis, spiritualis-kritis. Tidak perlu dia menjadi orang yang skeptis terhadap semua “kebenaran” yang ditawarkan langit dan bumi, tidak perlu juga dia menjadi orang yang mengetahui semuanya tapi tidak menaruh percaya pada satupun “kebenaran” juga. Meski akhirnya Jati mati juga, tetapi kematiannya menjadi ilham  bagi banyak orang dengan caranya sendiri.

Janganlah aku terlalu terbuai dengan teman baruku ini. Dia bukan siapa-siapa. Samalah seperti kita, keberadaannya semata-mata karena penokohan Sang Dalang. Baik buruknya urusan dalang. Aku hanya kagum saja. Kagum pada Sang Dalang yang menokohkan seorang Jati. Cakap sekali dia mengambil alih impianku. Ya, impianku menjadi seorang dalang (yang nyaris kubuang jauh setelah berkas-berkas keramatku hilang).
***
Siang itu aku membaca pesan teks dari temanku, reparasi matanya kali kedua telah berhasil. Meski yang terpancang dimatanya sekarang sudah lensa artifisial tetapi telah membuatnya melihat dunia ini lebih baik. Sekarang predikatnya bukan lagi mata rabun, sudah berubah menjadi mata keranjang. Aku tertawa geli, yang penting mata hatimu masih jernih batinku, sejernih Jati tokoh yang baik itu. Terima kasih untuk perkenalan yang kau pinjamkan ini ya. Salah satu penyebab kita berteman kurasa memanglah karena ada sedikit sikap kritis kita atas perbedaan kita. Dan katamu salah satu penyebab kita berteman baik itu karena hati kita bebas. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini karena kita tinggal di Negeri Langit dimana semua penghuninya adalah dewa (dewa wanna be), semua ingin mencipta, ingin mengatur, ada pula yang ingin merusaknya. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini, biarlah sedikit saja supaya kita tetap berjalan dengan hati rendah di bawah.

(Bilangan Fu)

3 comments:

  1. kunjungan perdana…^_^

    ReplyDelete
  2. faruq baru..eh teman baru, yeee..faruq teman baru ^,^v

    ReplyDelete
  3. Renandho9:13 pm

    Baru kali ini full membaca dari ujung atas sampai ujung bawah..
    Hanya saja, kenapa harus menggunakan kata “Si Tengil” untuk mendeskripsikan pria yang senantiasa murah senyum dihadapan wanita itu?
    hahaha..

    ReplyDelete