Aku sedang membaca kembali salah satu
status facebook-ku yang ku tulis 3 tahun yang lalu. Aku tersenyum dan berderai
tawa. Kalimat itu adalah suatu ungkapan hati, dalam hal ini bukan hati
yang marah tetapi hati yang bertanya-tanya. Aku mengetik status itu dengan
jemari ringan karena kurang tidur. Sementara, aroma sayuran dan ayam mentah
yang mulai membusuk di bawah meja tivi-ku menggoda terbawa angin. Memang
sudah disitu semalaman karena kompor gas rusak, sudah aku tanyakan kapan
diperbaiki, tetapi tidak ada jawaban. Biarkan saja pikirku. Jawaban itu
sebenarnya aku butuhkan hanya untuk membuat keputusan apakah sayuran itu harus
dibuang atau tidak. Sudah membau seperti ini sekarang, jadi jawabannya sudah
sangat jelas. Dibuang.
Entah apa yang terjadi dan entah
bagaimana hal itu terjadi. Aku, pada saat yang bersamaan juga harus bernasib
sama dengan sayur itu. Aku harus “dibuang”. Secarik teks yang kuterima via
ponsel itu yang menyatakannya. Lalu aku bertanya “mengapa?”, jawabnya “tidak
perlu ada penjelasan, sadar diri saja. Ngakunya anak Tuhan, tapi bikin ricuh”.
Aku berpikir keras mencari jawabannya, satu-satunya pengait yang mungkin dengan
pengusiran ini adalah pertanyaanku tentang kompor gas itu yang mungkin dibaca
pada saat penerimanya sedang marah, mungkin juga sedang sedih, mungkin juga
sedang merasa terancam sehingga memberi intonasi suka-suka saat membacanya. Aku
tak tahu.
Ga perlu banyak tanya, mau salah mau
bener pokoknya kamu KELUAR!! (prinsip no.1 hati yang rabun) -Facebook, October
20, 2009-
Well, itulah status facebook-ku. Pikiranku yang melayang telah mendarat saat tombol POST itu kutekan. Aku tak mau mengubur diri dengan kompor gas itu. Jika hal semacam ini harus terjadi di saat-saat akhir menuju pendadaranku, maka terjadilah. Blessing in disguise! Sure! Segera kukirim pesan pada malaikat murah senyumku, Dewi, “Sista, pick me up please. We are going to find another side of heaven”. Dibalasnya dengan cepat, “I am on the way”.
***
Rumah itu seperti tertimbun oleh
Anthurium yang daunnya bak digosok satu persatu dengan minyak. Senyum ramah
nyonya rumah dengan hot pant dan tank topnya membuatku lebih merasa nyaman.
Kulihat juga ada salib terpasang di dinding putih ruang tamu yang hangat itu.
Aku dan Dewi terus mengikuti Sang Nyonya bertelanjang kaki menelusuri rumahnya
yang bersih hingga sampai pada suatu kamar kosong yang sederhana di lantai dua.
Aku sudah merasa nyaman. “Bu, saya membutuhkan kamar hanya untuk tiga sampai
empat bulan hingga pendadaran dan....saya tidak punya uang untuk membayar
sekaligus. Saya menyukai ini semua dan jika Ibu berkenan membiarkan saya
membayar per bulan, Puji Tuhan”. Meski ramah, tak ada kesan bahwa aku akan
mendapat keringanan. Namun beliau menjawab dengan ringan, “Jangan persoalkan
itu, tidak baik. Jika kamu senang di sini maka bayarlah kapan saja.”
Sang Nyonya ini sangat berbeda. Dia
adalah orang yang mampu mengerjakan berbagai hal sendiri dan sangat cekatan
seolah tak pernah lelah. Dia bukan orang yang beraktivitas karena mencari uang,
tetapi karena sangat suka bekerja. Katering, souvenir pernikahan, dan
sebagainya dilakukan sendirian dengan kebersihan luar biasa. Berbagai juice ada
di kulkas, jika mau minum saja, uangnya bisa letakkan di bawah taplak kulkas,
kembaliannya ambil sendiri. Kadang-kadang dia meminta maaf untuk asap rokoknya
saat aku menjumpainya sedang santai di dapur. Dan jangan coba-coba meminta maaf
jika terlambat membayar sewa kamar, “Huss, jangan persoalkan itu, tidak baik.
Ibu bukan tuan tanah yang kejar-kejar kamu untuk bayar.” Tegasnya. Ya Bu,
tentu. Aku mungkin masih akan terlambat membayar lain kali tapi tak akan
mengulangi permintaan maaf itu dua kali, kau sangat baik hati.
Peluk dan cium kudapatkan dari Sang
Nyonya-baik-hati. Setelah tiga bulan tinggal di kedamaian rumahnya, aku telah
lulus pendadaran dan dia sangat senang mendengarkan berita itu. Dia
mencari-cari sesuatu dan menemukan dua batang Silverqueen untuk diselipkannya
di tanganku. Hingga hari ini aku mengingatnya lagi, aku masih merasakan
tanganku menggenggam coklat itu dengan sedih. Ya, sedih. Aku sedih karena
mengingat kembali “kompor gas” beberapa bulan yang lalu.
Berbagai peristiwa sedih memang tidak
memilih tempat, waktu, dan pelaku. Namun aku berprasangka bahwa kasihpun juga
tidak memilih tempat, waktu dan pelaku. Semuanya itu pilihan setiap orang.
Siapapun bisa memilih untuk menerjemahkannya dengan positif namun mereka juga
punya pilihan yang sama besarnya untuk menerjemahkannya dengan amarah. Siapapun
bisa mengatakan Tuhan mereka baik, Tuhan itu penuh kasih, and more. Dan
refleksi mereka itu mereka tulis dimana-mana, di facebook, di twitter, bahkan
di mimbar! Tak menyadari bahwa itu semua pseudo-event! Sang Nyonya yang
menyibukkan dirinya sedemikian rupa ini tidak mempunyai waktu untuk itu semua,
namun dalam kata-katanya dan dalam perbuatanya semua itu nyata. Senyata dan
sejernih permukaan Anthurium yang merimbun.
“Manusia selalu mencari kambing hitam
untuk kesalahan yang dibuatnya, mereka seringkali membenarkan segala yang
dilakukan demi harga diri sekalipun harus mengorbankan sesamanya.”
Kubaca kalimat itu dengan seksama.
Seorang kawan menuliskannya. Yap, kau benar sekali kawan. Kadang dalam nyala
api yang terang benderang manusia masih punya bagian gelap dari dirinya yang
cukup untuk menghitamkan kambing-kambing. Jika sedang merenung dan
memikirkannya, semoga kiranya manusia mau memikirkan kambing-kambing yang
menghitam ditangannya dan tak mengulanginya lagi.
Dibalik semua kesedihan, ada kalanya
tanda tanya itu tidak berguna. Biarkan saja membusuk dibelakang dan dibuang
bersamaan dengan waktu. Semua orang bisa mengusirmu, tapi tidak ada yang bisa
mengusir kebaikan di dalam hatimu karena memang tidak berada di dalam kendali
siapapun. Percayalah, ada banyak “Sang Nyonya yang menggenggam coklat” dan dia
mau memberikanmu kebahagiaan demi kebahagiaan di depan sana.