Pages

19 November 2012

Sang Nyonya yang Menggenggam Coklat



Aku sedang membaca kembali salah satu status facebook-ku yang ku tulis 3 tahun yang lalu. Aku tersenyum dan berderai tawa.  Kalimat itu adalah suatu ungkapan hati, dalam hal ini bukan hati yang marah tetapi hati yang bertanya-tanya. Aku mengetik status itu dengan jemari ringan karena kurang tidur. Sementara, aroma sayuran dan ayam mentah yang mulai membusuk di bawah meja tivi-ku menggoda terbawa angin.  Memang sudah disitu semalaman karena kompor gas rusak, sudah aku tanyakan kapan diperbaiki, tetapi tidak ada jawaban. Biarkan saja pikirku. Jawaban itu sebenarnya aku butuhkan hanya untuk membuat keputusan apakah sayuran itu harus dibuang atau tidak. Sudah membau seperti ini sekarang, jadi jawabannya sudah sangat jelas. Dibuang.


Entah apa yang  terjadi dan entah bagaimana hal itu terjadi. Aku, pada saat yang bersamaan juga harus bernasib sama dengan sayur itu. Aku harus “dibuang”. Secarik teks yang kuterima via ponsel itu yang menyatakannya. Lalu aku bertanya “mengapa?”, jawabnya “tidak perlu ada penjelasan, sadar diri saja. Ngakunya anak Tuhan, tapi bikin ricuh”. Aku berpikir keras mencari jawabannya, satu-satunya pengait yang mungkin dengan pengusiran ini adalah pertanyaanku tentang kompor gas itu yang mungkin dibaca pada saat penerimanya sedang marah, mungkin juga sedang sedih, mungkin juga sedang merasa terancam sehingga memberi intonasi suka-suka saat membacanya. Aku tak tahu.


Ga perlu banyak tanya, mau salah mau bener pokoknya kamu KELUAR!! (prinsip no.1 hati yang rabun) -Facebook, October 20, 2009-


Well, itulah status facebook-ku. Pikiranku yang melayang telah mendarat saat tombol POST itu kutekan. Aku tak mau mengubur diri dengan kompor gas itu. Jika hal semacam ini harus terjadi di saat-saat akhir menuju pendadaranku, maka terjadilah. Blessing in disguise! Sure! Segera kukirim pesan pada malaikat murah senyumku, Dewi, “Sista, pick me up please. We are going to find another side of heaven”. Dibalasnya dengan cepat, “I am on the way”.



***


Rumah itu seperti tertimbun oleh Anthurium yang daunnya bak digosok satu persatu dengan minyak. Senyum ramah nyonya rumah dengan hot pant dan tank topnya membuatku lebih merasa nyaman. Kulihat juga ada salib terpasang di dinding putih ruang tamu yang hangat itu. Aku dan Dewi terus mengikuti Sang Nyonya bertelanjang kaki menelusuri rumahnya yang bersih hingga sampai pada suatu kamar kosong yang sederhana di lantai dua. Aku sudah merasa nyaman. “Bu, saya membutuhkan kamar hanya untuk tiga sampai empat bulan hingga pendadaran dan....saya tidak punya uang untuk membayar sekaligus. Saya menyukai ini semua dan jika Ibu berkenan membiarkan saya membayar per bulan, Puji Tuhan”. Meski ramah, tak ada kesan bahwa aku akan mendapat keringanan. Namun beliau menjawab dengan ringan, “Jangan persoalkan itu, tidak baik. Jika kamu senang di sini maka bayarlah kapan saja.”


Sang Nyonya ini sangat berbeda. Dia adalah orang yang mampu mengerjakan berbagai hal sendiri dan sangat cekatan seolah tak pernah lelah. Dia bukan orang yang beraktivitas karena mencari uang, tetapi karena sangat suka bekerja. Katering, souvenir pernikahan, dan sebagainya dilakukan sendirian dengan kebersihan luar biasa. Berbagai juice ada di kulkas, jika mau minum saja, uangnya bisa letakkan di bawah taplak kulkas, kembaliannya ambil sendiri. Kadang-kadang dia meminta maaf untuk asap rokoknya saat aku menjumpainya sedang santai di dapur. Dan jangan coba-coba meminta maaf jika terlambat membayar sewa kamar, “Huss, jangan persoalkan itu, tidak baik. Ibu bukan tuan tanah yang kejar-kejar kamu untuk bayar.” Tegasnya. Ya Bu, tentu. Aku mungkin masih akan terlambat membayar lain kali tapi tak akan mengulangi permintaan maaf itu dua kali, kau sangat baik hati.


Peluk dan cium kudapatkan dari Sang Nyonya-baik-hati. Setelah tiga bulan tinggal di kedamaian rumahnya, aku telah lulus pendadaran dan dia sangat senang mendengarkan berita itu. Dia mencari-cari sesuatu dan menemukan dua batang Silverqueen untuk diselipkannya di tanganku. Hingga hari ini aku mengingatnya lagi, aku masih merasakan tanganku menggenggam coklat itu dengan sedih. Ya, sedih. Aku sedih karena mengingat kembali “kompor gas” beberapa bulan yang lalu.


Berbagai peristiwa sedih memang tidak memilih tempat, waktu, dan pelaku. Namun aku berprasangka bahwa kasihpun juga tidak memilih tempat, waktu dan pelaku. Semuanya itu pilihan setiap orang. Siapapun bisa memilih untuk menerjemahkannya dengan positif namun mereka juga punya pilihan yang sama besarnya untuk menerjemahkannya dengan amarah. Siapapun bisa mengatakan Tuhan mereka baik, Tuhan itu penuh kasih, and more. Dan refleksi mereka itu mereka tulis dimana-mana, di facebook, di twitter, bahkan di mimbar! Tak menyadari bahwa itu semua pseudo-event! Sang Nyonya yang menyibukkan dirinya sedemikian rupa ini tidak mempunyai waktu untuk itu semua, namun dalam kata-katanya dan dalam perbuatanya semua itu nyata. Senyata dan sejernih permukaan Anthurium yang merimbun.


“Manusia selalu mencari kambing hitam untuk kesalahan yang dibuatnya, mereka seringkali membenarkan segala yang dilakukan demi harga diri sekalipun harus mengorbankan sesamanya.”


Kubaca kalimat itu dengan seksama. Seorang kawan menuliskannya. Yap, kau benar sekali kawan. Kadang dalam nyala api yang terang benderang manusia masih punya bagian gelap dari dirinya yang cukup untuk menghitamkan kambing-kambing. Jika sedang merenung dan memikirkannya, semoga kiranya manusia mau memikirkan kambing-kambing yang menghitam ditangannya dan tak mengulanginya lagi.


Dibalik semua kesedihan, ada kalanya tanda tanya itu tidak berguna. Biarkan saja membusuk dibelakang dan dibuang bersamaan dengan waktu. Semua orang bisa mengusirmu, tapi tidak ada yang bisa mengusir kebaikan di dalam hatimu karena memang tidak berada di dalam kendali siapapun. Percayalah, ada banyak “Sang Nyonya yang menggenggam coklat” dan dia mau memberikanmu kebahagiaan demi kebahagiaan di depan sana.


8 June 2012

Kosong


Aku katakan pada Elang Tua,
“Aku tiba pada perjalanan yang lain, sekarang akan kuantarkan Elang  yang terkuat di Timur menuju singgasananya”

Elang Tua menangis terharu bahagia,
“Bahwasanya itulah yang ingin kudengar saat aku masih menghirup udara” ujarnya.
“Sebab itu luruskanlah hatimu jangan bercabang sedikitpun juga, supaya janganlah engkau terlalu bersusah di bawah matahari karenanya,” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum dan kukatakan pada Elang Tua,
“Dengan darah dan doa”
Aku katakan itu dengan bangga, biarlah Elang Tua berbahagia tanpa perlu tahu bahwa hati ini belum terkembang, hati ini menciut dengan takutnya. Kosong.


Jakarta, 9 Juni 2012

24 January 2012

Elang dari Utara


I used to hold u like this

Engkau adalah Elang dari Utara
Engkau raja yang bermahkota, bukan lagi dengan pisau bermata empat, bukan lagi dengan tanah dan ombak.
Engkau datang dari yang terbesar, engkau datang dari yang paling berani. Bukan lagi dengan patung-patung, bukan lagi dengan bual sumur.
Wahai Elang dari Utara, kemana saja engkau telah terbang?
Sampaikah engkau ke timur? Sejauh Seram, ke pulau-pulau?
Sampaikah Engkau ke Selatan? Sejauh hutan, lubang-lubang tambang?
Sampaikah Engkau  pada wanitamu? Sejauh usia, pengabdian terbesar?
Engkau adalah Elang dari Utara
Telah menua dan telah melemah, bukan lagi dengan tenaga dan usia namun lihatlah apa yang kulihat darimu Sang Elang Seribu Hikmat, engkau adalah terangku, engkau adalah buku sejarahku yang dituliskan dan dibacakan setiap hari oleh kerasnya gema cinta

Gelap telah datang menghampiri kita di tanah asing.
Kitalah keramaian ditengah keramaian, namun ada sepi saat mataku melihat matamu yang telah lelah karena usia.
Bertahun lalu saat aku meninggalkanmu di bawah sana sementara aku terbang menjauh, saat itu engkau adalah Elang yang telah lama membawa makanan ke sarang, lalu engkau berhadapan pada kenyataan bahwa bayi Elang telah sanggup terbang keluar.
Dalam detik aku akan meninggalkanmu disini, sama persis seperti saat itu.
Hanya waktu dan ruang yang akan mengabadikan perpisahan kita.
Hanya sekuat laju roda-roda yang bertautan panjang.

Sancaka siap menelanku untuk meliuk melintasi tanah asing sampai esok ia akan memuntahkanku di ujung sana, jauh dari kepakmu.
Kali inipun kau tidak akan berkuasa untuk melepaskanku dari cengkeraman si ular hitam dengan cakarmu yang masih kokoh, dan kau berkutat dengan pikirmu sampai kau memelukku dan berbisik:
Jika tiba waktunya kau memang harus berjalan sendiri, berjalan kuat seperti yang sudah saya lakukan
Tak kurang tak lebih dan airmataku menetes, mual, bertahan di perut Si Ular.

(Jakarta, 24-01-2012 - Blackout, in a minute to low battery, missing my dad and his story)

24 November 2011

Sembunyi?


Sewaktu kecil aku sangat kecil. Tentu saja ya, maksudku dibanding teman-teman sebayaku, aku tergolong kecil. Kelas lima SD saja aku masih seratus dua puluh lima senti, sementara yang lain mencuat hingga seratus empat puluh. Ada banyak kejadian menguntungkan dengan tubuh kecil ini. Saat bermain petak umpet aku bisa  sembunyi di tempat-tempat yang mustahil termasuk dibelakang punggung teman yang jaga. Saat main civilization, yang jadi raja penguasa adalah anak yang bisa memanjat pohon belimbing—yang dianggap singgasana—tercepat, tentu aku sering jadi penguasa karena naik pohon dengan tubuh kecil itu tidak sulit, yang sulit itu kalau turun dari pohonnya karena aku harus membuang badan akibat kaki tak sampai. Saat main kejar-kejaran, mungkin aku yang paling sulit dikejar karena tubuh yang ringan membuat alam dengan mudah membuatku berlari, terhembus angin. Macam-macamlah, pokoknya enak.

Dari semuanya aku paling suka sembunyi. Jangan salah, bersembunyi itu membutuhkan kepiawaian tingkat tinggi serta kreatifitas juga ya. Dan semakin kita dewasa kita menyadari bahwa kebutuhan kita untuk bersembunyi itu semakin tinggi. Percayalah. Apalagi yang banyak berhubungan dengan debt collector.

Dulu waktu aku masih kecil, mungkin sekitar empat tahunan aku menemukan keindahan persembunyian ini. Aku berbuat nakal sehingga dimarahi Papa dan Mamaku secara berbarengan. Situasi ini sulit karena tidak ada yang pro padaku, aku menangis dan diam-diam masuk ke bawah meja makan. Meja makan kami besar dan ada banyak barang di bawahnya seperti karung beras, kotak-kotak bahan makanan dan sebagainya. Aku tidak berani menangis keras-keras karena aku pasti akan ditarik keluar dari sana sementara yang aku butuhkan adalah sendiri. Aku tertidur disana dan ketika aku terbangun aku mendengar Papa, Mama dan pengasuhku ribut-ribut mencariku. Kekhawatiran mereka itu terasa sekali, Mama mulai menyalahkan Papa sehingga Papa memakai sendalnya dan mencariku ke rumah nenekku dan pengasuhku sibuk mencari ke tetangga. Aku masih diam melongo di bawah meja. Papa pulang dan berkata dia dimarahi nenek, pengasuhku pun pulang tanpa hasil apa-apa.

Saat bersembunyi itu aku merasa banyak hal bisa terlintas dibenakku dengan seksama. Aku bisa memikirkan mengapa tingkah-tingkahku dipandang konyol oleh orang dewasa. Aku lalu bisa melihat apa yang menarik bagi orang dewasa, harga-harga yang naik, kualitas kayu bakar yang jelek, pokoknya segala sesuatu yang mungkin tidak kau “dengar” dengan seksama ketika berada dan terlibat disana. Ketika kau disana, sadar atau tidak yang kau pikirkan adalah apa yang kau mau bukan yang setiap orang mau.

Aku ingin bilang bahwa sembunyi yang kumaksud itu tidak melulu secara harfiah ketika kau berada ditempat yang tidak terjangkau oleh kesadaran orang lain tetapi sembunyi juga saat orang lain tidak menyadari bahwa kau ikut serta secara pasif di dalam suatu situasi. Contohnya, aku sudah terbangun pagi-pagi dan aku tahu bahwa orang tuakupun sudah bangun dan ngobrol sambil tidur-tiduran. Aku mendengar mereka membicarakan anak-anak mereka, bagaimana rencana sekolahnya dan sebagainya. Untuk itu aku tidak membuka mata,aku tetap saja diam dan berpura-pura tidur sampai akhirnya yang aku tunggu datang...mereka membicarakanku! Tentang sekolahku bahkan sampai kenakalanku. See? Sembunyi = Quality Time = Quiet & Thinking. Tentu baik untuk seseorang untuk mengembangkan komunikasi intrapersonalnya.

Just like today, aku merasa sangat penat dan merasa membutuhkan waktu hening sejenak. Aku sudah lama tidak hening. Pulang kerja juga masih melakukan ini itu, persiapan ini itu, bikin tugas ini itu. Aku butuh waktu diam di bawah meja Mamaku. Wanna hide under my mom’s desk, kutulis seperti itu sebagai status di blackberry messenger, seorang teman masa kecil yang sekarang badannya besaaaaaaaarr sekali mengirim pesan singkat. Ilham.S.P: Or behind me?


26 April 2011

Nobody Was Too...

Dia ahli reparasi hampir semua hal. Mulai dari meubel sampai barang elektronik, mulai dari menata ruangan sampai bersih-bersih, semua bisa dilakukannya. Itulah mengapa dia selalu dicari banyak orang. Orang suka mengantonginya dengan makanan atau uang seribu dua ribu setelah “pekerjaan apa saja” yang diberikan padanya itu beres. Siapa bilang dia tak susah? Dia adalah orang yang paling bisa dikatakan susah tetapi dia tak pernah terlihat sedih atau susah, selalu tertawa lepas memamerkan gigi menguning karena rokok yang kontras dengan kulit hitamnya. Belakangan jika aku sedang mengingatnya, aku selalu menamakannya Jack-Of-All-Trades*.

Dia sering membawaku jalan-jalan dengan sepeda mini bapakku. Beberapa kali aku dibonceng dibelakang bersama anak bungsunya menempuh berkilo-kilo hanya untuk melihat helikopter yang sedang parkir disebuah lapangan milik sebuah mining di daerahku. Aku sendiri waktu itu sama sekali tidak antusias melihatnya dan belakangan aku suka berpikir bahwa dialah yang penasaran dengan burung besi itu. Dia mengajakku hanya karena ingin membawa sepeda bapakku.


Pernah dia bercerita, suatu malam saat puluhan penonton bioskop bubar dia dan istrinya yang sedang hamil menggeledah kursi  penonton untuk mencari sesuatu yang mungkin tertinggal. Dia mengaku kadang menemukan uang atau benda-benda lain (tak jarang botol aqua berisi kencing). Bukan bioskop sekelas twenty one sih, jadi orang tidak perlu keluar untuk meludah atau kencing. Well, hari itu dia menemukan selembar lima ratusan dan sebatang kecil coklat. Istrinya memilih uang saja karena pingin beli supermie. Begitulah deal itu terjadi, istrinya pergi membeli supermie sementara coklat itu lumer di mulutnya dalam hitungan detik. Malam itu berakhir dengan tragis, dia jongkok sepanjang malam di parit samping bioskop itu sambil menutup seluruh badan hingga kepalanya dengan sarung, tak peduli siapapun lewat dengan keheranan.
“What the hell he ate?” temanku bertanya dengan wajah bingung.
“Broklat” Jawabku. Ah, temanku tersedak.
Kok bisa ga tau gitu loh kalau itu broklat..”
He can’t read” hening sejenak lalu meledaklah tawa kami.

Ada lagi seorang perempuan korbanku dalam tulisan ini. Dia adalah orang yang menurut seorang guru menjahit adalah orang yang selalu menimbulkan hasrat ingin menampol.
Guru: Kalau lingkar pinggangnya enam puluh delapan maka kamu buat pola roknya dengan menghitung seperempat dari lingkar pinggang itu ditambah dua untuk kup-nya. Berapa?
Si Murid: *hening*
Sepuluh menit kemudian..
Guru: sudah ketemu berapa?
Si Murid: *hening*

Namun begitu, menurut Sang Guru dia adalah perempuan yang amat rajin dan rapi sehingga banyak diberi tugas untuk som dan membuat lubang kancing (dulu membuat lubang kancing itu masih manual..*oh no*)
Suatu ketika bertahun-tahun setelah itu, kami murid-murid sekolah minggu ingin membuat rok lipit berlapis plus baju bodo ala bugis sebagai atasannya untuk seragam perayaan Natal. Kami membuat baju itu pada Si Perempuan ini yang telah bermutasi menjadi The Best Tailor In Town saat itu.

What exactly am I going to say? Banyak orang yang berpikir bahwa kita tidak cukup pintar untuk melakukan ini dan itu yang sesuai dengan keinginan orang sekaligus yang mampu dilakukan oleh orang kebanyakan. Asumsi ini sama sekali tidak membuat kita lebih baik (dan sebaiknya juga tidak membuat kita lebih buruk). Kebodohan-kebodohan kita ditertawakan.

Guru yang mengajar Thomas Alva Edison mengatakan pada Nyonya Edison bahwa “He is too stupid to learn”, Guru yang mengajar Einstein pun mengeluh karena Einstein terlalu banyak bertanya hal-hal yang stupid tapi….apa yang bisa membuat kita pada saat yang sama atau pada saat-saat yang akan datang justru dicari-cari karena ahli dalam hal tertentu? Jangan tanyakan pada rumput yang bergoyang, rumput sama sekali tidak bisa bicara apalagi sekolah.

* if you refer someone as a Jack-Of-All-Trades, you mean that they are able to do a variety of  different jobs.

Teman Baru

Seolah tidak mempercayai ketidakberadaannya, aku membuka-buka kembali semua isi laptopku. Hampir setengah jam dan benarlah kalau aku tidak menemukannya. Berkas-berkas tulisanku telah hilang. Aku ingat beberapa tahun lalu, wanita tokoh emansipasi negeri langit ini mengeluh karena seseorang telah mencuri laptopnya. Dia merasa sangat sedih campur kesal bukan perkara nominal benda itu tetapi karena semua tulisannya, pikirannya dan pekerjaannya telah muntah semua ke dalamnya. Aku juga sudah lupa sejak kapan aku mulai menulis. Seingatku isi buku catatan butut yang menuntut untuk pensiun itu sudah ku wariskan ke dalam laptopku ini dan per hari ini kunyatakan semuanya resmi raib. Direktori C nya sudah dengan sukses di format ulang, diganti dengan angka keberuntungan Si Milyuner tahun ini, se7en. Ah, tak berpanjang-panjanglah aku bercerita tentang berkas itu, hanya menambah kesedihanku saja sementara Si Tengil yang memformatnya cuma bisa senyam senyum ditambah sedikit ekspresi agak menyesal yang menjengkelkan. Masa iya yang diback up hanya source code nya yang aneh dan bejibun itu. “Ah, samalah nasib kita, Inang. Marilah kita mulai lagi dari file pertama dan huruf pertama” kataku dalam hati pada wanita senasib itu.

Hari ini aku punya cukup semangat untuk memulainya lagi. Aku ingin memulainya lagi dengan sebuah perasaan cinta. Setelah aku jatuh cinta pada pria kedua. Well, seorang temanku yang datang dari Kota Waktu memperkenalkan teman prianya  padaku. Awalnya dia hanya ingin memberikan sesuatu yang akan membuatku mengingatnya, yah begitulah tebakanku atau paling tidak dia ingin membalas penyambutanku untuk kedatangannya di Kota Debu ini. Aku menolak. Bagaimanapun menerima sesuatu itu menerbitkan rasa sungkan. Lalu dia berdalih akan menganggapnya sebagai utang, bah diberi saja aku sungkan apalagi disuruh menganggapnya sebagai utang. Tidak, tidak terima kasih. Kita bertemanlah, yang namanya teman itu jarang sekali bayar utang, bagaimana nanti jika aku tak bayar. Apalagi setiap hari kalau bekerja yang aku urus itu jutaan orang yang hobinya utang, cukuplah itu. Ujung-ujungnya dia bilang akan meminjamkannya. Nah, aku tambah bingung. Kau itu hidup di Kota Waktu sementara aku ini di Kota Debu, meski kita sama-sama di Negeri Langit ini tapi persoalan kirim mengirim ini akan membuatku bingung. Sudah tak sempat lagi berdebat, tahu-tahu saat makan malam temannya yang unik tanpa label harga ini sudah ada saja di hadapanku.


“Ini bukan sekuler” Katanya. “Lebih tepat kalau disebut spiritual, yah spiritual kritis.” Lanjutnya dengan senyum kemenangan menikmati kepasrahanku. Aku menatap pria yang dibawanya, ternyata jauh lebih muda dari Si Tua Nietzsche yang pertama kali ditawarkannya. Aku tertawa dalam hati, apakah ini karena efek dari matanya yang salah direparasi itu ya? Masa yang dikenalkan padaku itu justru pria berjari dua belas yang katanya spiritual? Sejak kapan dia doyan membahas hal-hal spiritual padaku? Selama ini di surat-surat panjang kami, tidak sedikitpun hal-hal spiritual itu dibahas karena perbedaan mendasar itu sudah menegaskan diri dari awal sejak kami saling kenal. Apa saat ini dia mau memulainya? Aku simpan saja kelucuan ini, nanti kalau tiba saatnya aku berdua saja dengan pria yang dibawanya ini, akan ku interogasi habis-habisan dan kukembalikan padanya dengan babak belur.

Selama makan malam aku tidak sempat bicara dengan pria spiritual itu, aku asyik saja mendengar temanku bersukacita membicarakan sebelah matanya yang gagal direparasi. Iya, sungguh dia itu bersukacita. Seolah dengan keikhlasannya itu dia telah menerima balasan yang baik. Mataku berkedut, temanku berhasil mentransfer perasaannya dengan baik sehingga mataku ikutan perih begini. Dia tidak berubah, selalu bersemangat selain mempunyai sifat yang kadang membuatku “jengkel” (termasuk kelak saat dia bilang pinjaman ini tidak usah dikembalikan). Dulu aku suka mengatainya dengan sadis karena kesombongannya di MOS (Masa Orientasi Siswa) sewaktu SMA plus karena senyumnya yang enteng mengatakan kami siswa kelas satu hanyalah penggembira saja dalam pemilihan ketua OSIS (mungkin dia tak tahu hati orang berkedut kisruh saat disuruh pidato dilingkungan baru yang asing). Setelah itu kami tidak banyak bicara, hanya dia sudah berubah jadi Tukang Senyum yang bau rantai karbon, mata kiri bertuliskan “AR”, mata kanan bertuliskan “MR”, sementara jidatnya penuh coret moret reaksi kimia. Tapi katanya sekarang dia sudah alih profesi. Sehari-hari mengurusi desain produk-produk utangan yang menarik untuk orang banyak, bah dosanya lebih banyak dari aku, ha, ha, ha. Aku sekadar mengurusi orang-orang yang hobi utang tapi dia yang membuat orang-orang lebih tertarik lagi untuk utang lebih banyak. Dan akhir minggu dia mengajar, transfer ilmu untuk orang banyak. Aku tertawa, ternyata akhir minggulah dia menebus dosanya itu.

Aku membawa pulang pria pinjaman temanku itu, menghabiskan waktuku sepulang kerja selama dua hari untuk menginterogasinya. Aku tak berhasil, alih-alih aku menemui maksud tersembunyi temanku itu (kalau saja temannya ini disuruhnya mempertegas “nilai-nilai kebenaran spiritual”, tak ragu aku akan mengomeli manusia Kota Waktu ini panjang-panjang) tetapi ternyata tidak begitu, aku justru terhanyut oleh kedalaman teman baruku ini. Namanya, Jati. Dia hanyalah seorang pencinta lingkungan yang dibesarkan di dalam lingkungan orang-orang beragama dan “penghayat-penghayat”. Berdiri ditempatnya sendiri dengan semua pikiran kritisnya. Kata-katanya semua hasil kutip sana kutip sini, tapi tak satupun keluar lagi dari mulutnya dengan apa adanya, selalu dengan disertai pengamatannya yang pelik dan kritis.

“Seorang spiritualis-kritis adalah orang yang sadar bahwa kebenaran selalu tertunda. Tuhan selalu merupakan misteri. Seorang spiritualis-kritis adalah mereka yang selalu memikul kebenaran. Karena itu mereka hanya menggunakan cara-cara yang satria dan wigati (bukan dengan memaksakan kebenaran itu dengan jalan kekerasan). Hanya dengan memanggulnya mereka percaya kebenaran itu bisa menyatakan diri. Mereka percaya bahwa kebenaran adalah misteri yang harus mereka pikul selamanya. Sebab hanya dengan memanggulnya misteri itu tidak jatuh ke tanah. Sebab jika misteri itu jatuh ke tanah, kita akan mengiranya sebagai teka-teki yang terpecahkan. Dan kita percaya bahwa jawabannya adalah: Hukum tuhan. Tapi, kau tahu, misteri bukanlah teka-teki. Misteri adalah rahasia yang jawabannya selalu tertunda. Misteri, kawanku, adalah dia yang jawabannya takkan pernah terpegang. Yang menempatkan kau dalam suasana kepedihan dan harapan sekaligus.” Katanya.
“Sederhanakanlah bahasamu, Jati” Kataku.
“Tuhan itu misteri karena Dia tidak mau terjebak dalam kerangka berpikir manusia yang debil. Tetapi berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi lalu kau akan menjadi bukti bahwa jika memiliki iman sebesar biji sesawi saja maka kau akan bisa mencapai puncak gunung tanpa perlu memindahkannya.” Lanjutnya.

Bagiku dia memberi contoh yang baik untuk kita menggunakan pikiran dengan maksimal, itulah yang diberikan pada kita lebih dari sekedar mata yang melihat, hidung yang mencium, bibir yang mengecap, kulit yang meraba dan telinga yang mendengar. Dua hari itu aku hanya mendengar saja semua perkataannya, tidak sedikitpun aku bertanya. Seandainya dia ini wujud nyata, mungkin banyaklah harapan dalam hatiku untuk jatuh cinta, bukan karena semua kebaikannya tetapi kompleksnya sikap yang dia miliki. Aku percaya dia benar-benar spiritualis, spiritualis-kritis. Tidak perlu dia menjadi orang yang skeptis terhadap semua “kebenaran” yang ditawarkan langit dan bumi, tidak perlu juga dia menjadi orang yang mengetahui semuanya tapi tidak menaruh percaya pada satupun “kebenaran” juga. Meski akhirnya Jati mati juga, tetapi kematiannya menjadi ilham  bagi banyak orang dengan caranya sendiri.

Janganlah aku terlalu terbuai dengan teman baruku ini. Dia bukan siapa-siapa. Samalah seperti kita, keberadaannya semata-mata karena penokohan Sang Dalang. Baik buruknya urusan dalang. Aku hanya kagum saja. Kagum pada Sang Dalang yang menokohkan seorang Jati. Cakap sekali dia mengambil alih impianku. Ya, impianku menjadi seorang dalang (yang nyaris kubuang jauh setelah berkas-berkas keramatku hilang).
***
Siang itu aku membaca pesan teks dari temanku, reparasi matanya kali kedua telah berhasil. Meski yang terpancang dimatanya sekarang sudah lensa artifisial tetapi telah membuatnya melihat dunia ini lebih baik. Sekarang predikatnya bukan lagi mata rabun, sudah berubah menjadi mata keranjang. Aku tertawa geli, yang penting mata hatimu masih jernih batinku, sejernih Jati tokoh yang baik itu. Terima kasih untuk perkenalan yang kau pinjamkan ini ya. Salah satu penyebab kita berteman kurasa memanglah karena ada sedikit sikap kritis kita atas perbedaan kita. Dan katamu salah satu penyebab kita berteman baik itu karena hati kita bebas. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini karena kita tinggal di Negeri Langit dimana semua penghuninya adalah dewa (dewa wanna be), semua ingin mencipta, ingin mengatur, ada pula yang ingin merusaknya. Kita harus simpan sikap kritis dan hati yang bebas ini, biarlah sedikit saja supaya kita tetap berjalan dengan hati rendah di bawah.

(Bilangan Fu)

Nona G

Usiaku sekarang 24 tahun, jadi Aku tahu pasti bahwa Aku bisa berpikir sangat rasional saat mengatakan jawabanku untuk pertanyaan “Apakah dia itu?”. Aku sendiri bingung, bagaimana mungkin Aku bisa memaksa orang lain untuk mengakui bahwa Aku sangat rasional dalam menjawab pertanyaan itu. Sementara orang tertawa hanya dengan melihat pertanyaannya saja.

“Apakah dia itu?”, sungguh mendiang guru bahasaku yang pernah Aku ceritakan padamu sebelum ini pasti akan mengernyitkan keningnya dan membaca kalimat tanya itu dua kali sebelum menarik nafas panjang karena keheranan. Kita sepakat dulu bahwa kata apakah itu adalah kata tanya yang akan kita gunakan untuk menanyakan tentang banyak hal misalnya situasi. Pokoknya kita tidak akan menggunakannya untuk merujuk pada profil seseorang. Lalu sebaliknya kita sepakati juga bahwa kata dia adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang tidak akan kita pakai untuk merujuk pada hewan atau benda mati, selalu merujuk pada profil seseorang. Nah, tiba-tiba Aku dengan segala percaya diri menggabungkannya menjadi “Apakah dia itu?”. Bolehlah kau tertawa,  dan setelah Aku menceritakan asal muasal kalimat tanya itu kau putuskan saja apakah masih ingin tertawa.

“Apakah dia itu?”. Aku bilang bahwa dia itu hantu. Jika di dalam otakmu ada semacam teori yang mengatakan bahwa hantu itu adalah mahluk hidup sehingga tak pantas memakai kata Apakah, maka sampai disini sajalah kita sepakat. Lalu Aku tahu kau akan tertawa lebih keras karena menganggapku tolol untuk tetap menggunakan kata dia sementara Aku sendiri melabelkan hantu itu bukan sebagai mahluk hidup. Untuk hal itu Aku tak punya pilihan, sebab dia muncul didepanku sebagai seseorang bukan sesuatu.


Ada kondisi lain yaitu kau justru berpendapat sama untuk perkara  teknisnya bahwa hantu itu bukan mahluk hidup namun mengatakan bahwa secara praktis hantu itu tidak ada, maka sampai disini saja juga kita sepakat. Walaupun begitu, jujur Aku sangat ingin meyakinkanmu bahwa Aku sungguh-sungguh mengatakannya…hantu itu ada, dan Aku melihatnya.

Nina itu hanya lebih tua lima menit dariku, dia menjulurkan kepalanya lebih dulu ke dunia ini sementara ibuku harus pasrah saat Aku harus datang belakangan dengan kaki terlebih dulu. Dalam banyak hal Aku bisa tak sepakat dengan Nina, tapi dalam hal yang satu ini seratus persen Nina sangat setuju denganku. Hanya Aku dan Nina yang bisa melihatnya.

Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti, aku hanya ingin bercerita saja. Sekarang ini hantu memang banyak dijadikan objek untuk menarik hati pembaca atau penonton. Film-film ber-genre horor mulai dari yang murahan sampai yang paling classy (memang ada hantu classy?), bahkan sekarang sampai ada Reality Show nya…ckckck…ya mungkin memang seperti itu yang lebih bisa kita nikmati sekarang dibanding berita-berita korupsi yang tidak kunjung tamat, beda dengan film horor atau pertunjukkan horor yang pemain atau cenayangnya selalu menang. Sewaktu menulis kata murahan aku sih tidak bermaksud mendiskreditkan siapa-siapa, maksudku hanyalah film atau bacaan yang mengumbar isi perut untuk keluar saja (hantu saja bisa tersinggung melihatnya). Sungguh, aku hanya ingin bercerita apa yang pernah aku alami. Semuanya sangat nyata, tapi kau boleh percaya bolehlah juga tidak. Tidak usahlah kita berdebat.

***
Rumah sewaan kami itu tergolong kuno. Batu penyangganya ada dua belas. Tidak begitu tinggi, cukup hanya tiga anak tangga untuk menaiki rumah. Akupun cukup merundukkan kepala untuk bisa berjalan dibawahnya. Kau bisa bayangkan, kolong rumahku membentuk sebuah ruang. Pada zaman itu orang memang biasa menyimpan ternak disana. Orang tuaku tidak menyimpan ternak, jadi tidak akan menemukan apa-apa selain berbagai macam kelas Arachnid dan kalau sial bisa juga Ular atau Biawak. Meskipun begitu kami tidak pernah merasa takut jika harus masuk kesana demi mengambil uang koin atau boneka kertas (tak pernah Aku punya boneka Barbie) yang kerap jatuh dari sela-sela lantai papan yang bolong karena uzur.

Siang itu kamipun masuk kebawah kolong rumah, kami masuk dari sisi kanan rumah itu untuk mengambil koin dua puluh lima rupiah (tak pernah Aku punya lebih dari itu) yang jatuh. Ya, seketika Aku takjub. Ada seseorang disisi rumah sebelah sana, Aku melihatnya lebih tepatnya Aku melihat kakinya yang indah mulai dari tapak kaki hingga sedikit lutut. Dia sedang mencuci kaki dari tong yang ada disamping tangga naik ke rumah kami, memakai sendal merah. Tak usah pikir panjang Aku tahu itu adalah kaki perempuan muda yang berkulit sangat putih. Aku menggamit Nina dan bertanya mungkin dia tahu itu siapa tetapi Nina hanya mengedikkan bahu dengan tampang sama bengongnya. Lalu sosok itu melambaikan tangannya ke arah kami, mungkin dia berjongkok untuk melakukan gerakan itu tapi kami tetap tidak melihat wajahnya dan telingaku juga mendengar ajakannya untuk mendekat. Aku menoleh pada Nina, dia pun menatapku untuk sebuah persetujuan. “Tidak, Mama tidak mengizinkan kita mendekati orang asing yang tidak kita kenal” kataku.
Meski Aku berkata begitu, ada gejolak yang besar untuk mengetahui wajahnya. Kami keluar dari kolong dan memutuskan untuk berjalan memutar ke sisi kiri rumah melalui halaman belakang, kami tidak akan mengambil resiko bertemu keluarga besar Arachnid jika nekat pergi kesana dengan mengendap-ngendap di kolong.

Seketika Aku terkesiap, tidak ada siapapun disana. Lebih dari itu, nalarku baru saja menyadari bahwa tidak ada tangga naik ke rumahku dari sisi kiri itu. Tong air yang dipakainya untuk mencuci kaki itupun tidak ada dasarnya, hanyalah tempat pembakaran sampah. Hanya ada satu jendela disisi kiri ini, persis ditempat kami melihat kaki seseorang tadi. Lambat-lambat Nina berbisik ditelingAku “Itukan jendela dari gudang kita…”.
Tidak hanya saat itu saja Aku dan Nina melihatnya.

Banyak kesempatan lagi kami melihatnya lagi tetapi tidak sekalipun ketika kami ada disisi kiri rumah itu, hanya dari sisi yang bersebrangan ditambah sedikit rundukkan kepala. Ya, dari kolong itu…dan sampai saat ini juga kami tidak pernah melihat wajahnya. Terkadang dia duduk sendiri ditangga itu, terkadang juga dia menerima banyak tamu dan mereka akan tertawa-tawa riuh rendah. Jika dia sedang menerima banyak tamu maka kami akan melihat berpasang sendal lain di bawah tangga itu. Ada satu kebiasaan yang selalu mereka lakukan sebelum naik ke rumah, yaitu mencuci kaki dari tong pembakaran sampah itu…tentu saja dari sini terlihat banyak airnya.

Oh ya, kau mau tahu apa panggilan kami untuknya? Dia kami sebut Nona. Salah satu penyebabnya karena kakinya sangat putih, sama persis dengan kaki nona Belanda yang sedang menenteng ember susu di kepalanya. Perempuan itu ada di kaleng susu kental manis favorit kami, MilkMaid. Aku agak lupa apakah dulu di kaleng susu itu ada tulisan “Cap Nona” atau tidak yang pasti di daerahku orang me-metafora-kan susu itu dengan gambar dikalengnya. Tadi kubilang itu salah satu penyebabnya kan? Nah, salah duanya, karena teman-temannya yang biasa bertandang itu memanggilnya Nona. Entah itu kebetulan atau tidak.

***

Aku dan Nina punya banyak macam permainan murahan yang bisa kami mainkan. Aku bilang murahan karena memang bukan mainan yang mau dimainkan anak-anak zaman sekarang. Salah satunya adalah permainan yang kami sebut “Kucing-kucing”. Aku kesulitan menemukan istilah yang lebih dikenal untuk permainan ini. Ada daerah yang menamakannya “Bola Bekel” (lafalkan huruf e  yang pertama seperti pada kata seng dan lafalkan huruf e yang kedua seperti pada kata selasa).

          Perbedaannya, biji bekel itu terbuat dari kuningan yang berbentuk seperti siluet Bebek sementara yang biasa kami pakai adalah bekas cangkang kerang Cypraea moneta yang kecil-kecil. Permainan ini hanya membutuhkan 12 biji kerang dan satu bola tenis. Kau genggam biji kerang itu dengan satu telapak tangan dengan bola tenis di atasnya. Untalkan bola tenis itu ke atas pelan-pelan dan serakkan perlahan biji kerangnya, lalu kau harus menangkap kembali bola itu sebelum menyentuh tanah. Langkah berikutnya kau untalkan lagi bola itu dan harus memungut kembali biji kerang itu satu persatu. Putaran pertama hanya satu biji kerang untuk satu untalan, hati-hati jangan sampai bolanya menyentuh tanah. Jika kedua belas biji kerang itu sudah berada dalam genggamanmu maka kau harus menyerakkannya kembali  untuk putaran kedua dan disini harus dua biji kerang untuk satu untalan. Demikianlah seterusnya hingga putaran akhir dimana kau harus meraih kedua belas biji kerang itu dalam satu untalan. Jika bola tidak tertangkap atau ada biji kerang yang jatuh dari genggaman, maka lawanmu yang akan mendapat kesempatan bermain. Siapa yang pertama menyelesaikan putaran akhir dialah yang menang.

Siang itu Aku dan Nina memainkannya, aku yang sedang mendapat giliran. Hati-hati sekali aku melakukannya hingga aku terus bermain hingga putaran ke tujuh. Memasuki putaran kedelapan, aku melihat sekilas sebuah tangan putih Nona melemparkan sesuatu ke arah kami. Aku tidak tahu apa yang dia lemparkan hingga saat Nina tertawa karena ada satu kerang yang terlontar jatuh. Aku bersikeras itu bukan kesalahanku dan mengajak Nina menghitung kerang digenggamanku. Ada 12 kerang…dan ada satu lagi di lantai.

Rasa penasaran itu kian bergejolak, siapa sih yang tidak ingin melihat wajah pemilik kaki dan tangan yang putih mulus itu? Tapi kami tidak pernah berhasil. Setiap kali Papa membersihkan gudang itu yang kami lihat hanyalah ranjang reot, lemari kayu yang telah berbubuk, kursi bobrok, kasur kapuk yang bau karena rembesan air hujan dari atap yang bocor, dan benda-benda lain yang tidak lagi berguna.
***
Itu semua terjadi dua puluh tahun yang lalu. Beranjak remaja Aku dan Nina tidak  lagi melihatnya, bahkan kami sudah pindah dari rumah itu. Sekarang rumah itu sudah direnovasi, tidak lagi ada kolongnya. Walaupun begitu, saat terakhir masuk kesana sebagai tamu aku terheran juga demi melihat semua bagian rumah sudah direnovasi kecuali kamar itu. Dindingnya masih yang dulu, hanya sekarang tidak lagi  berstatus gudang. Sudah dijadikan kamar tidur keluarga.

Papa dan Mama hanya tercenung mendengar ceritaku dan Nina, sesekali terlihat Papa manggut-manggut kecil. Mungkin saja Dia pun sedang mengaitkan berjuta neuron yang menghubungkannya ke masa yang sama. Akhirnya Dia berkata pada Mama, “Ma, siapa nama menantu muda pemilik rumah itu dulu yang konon katanya mati tewas?”. Mama menjawab pelan, “Nona.”
***
Apakah karena kecantikanku, sayang? Alamat aku dipinang
Apakah karena kebaikanku, sayang? Alamat kita disandingkan
Apakah karena kebodohanku, sayang? Alamat aku dibinasakan
Aku masih duduk disini, di tempatku selalu berada
Meski malam melabur pelan dan waktu berpendar buram
Aku masih disini, di tempatku menanti alasan
Aku masih sendiri, dan kau masih saja belum datang

Mereka sering datang, sayang
Mengisahkan indahnya cinta…
Apakah cinta itu, sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?
Cinta belum pernah kudengar, yang kudengar adalah tangisanku dalam diam
Cinta belum pernah kurasakan, yang kurasakan hanya berat nafasmu dalam dekapan menyakitkan malam-malam panjang
Apakah itu cinta sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?



Jawablah aku, sayang…
Aku masih disini, menantimu ditengah ketakutan
Ketakutan yang belum sempat kau redam



Jawablah…

Untukmu, jika kau masih disitu

Hari ini aku menyapamu yang masih ada disitu. Iya aku tahu kau selalu ada disitu walaupun tak pernah membiarkan siapapun melihatmu. Kau bilang kau masih sama dengan yang dulu, sama seperti disaat aku meninggalkanmu. Apakah aku pernah meninggalkanmu? Katakan saja iya.

Ada banyak kata-kata yang ingin aku tuliskan. Kata-kata yang seharusnya aku katakan padamu sedari dulu. Jika saja aku bisa. Ingatkah kau bahwa Telur-telur tanda Tanya itu masih banyak, warna-warna itu semakin membingungkan, kau hitam sehitam-hitamnya hitam! Tapi juga kau semerah-merahnya merah!
Mengapa aku meradang padamu yang tidak pernah marah ya, setidaknya kau tidak pernah marah padaku yang datang dan pergi seenakku saja…

Aku harap aku masih bisa, datang padamu apa adanya. Aku juga tidak berubah, masih suka dengan kecerianmu yang berbalut tanda Tanya. Aku berharap aku masih bisa, datang padamu dan membayar semuanya, utang cerita yang telah kugagalkan sebelumnya..

Biarlah waktu berlalu dan merenggut semua kesakitan yang lama, waktu tidak akan mengubah caraku memandangmu, bagiku kau tidak pernah tua. Padamu ada banyak harapan. Kau simpan erat-erat dalam peluk malam sendirian. Sekarang tunjukkanlah itu, kau terlalu membiasakan diri untuk tidak terlihat. Aku ingin kau membaginya pada pagi dan melemparkannya tinggi-tinggi kepada siang. Sambutlah kembali sejuta balasan sukacita bahkan lebih dari yang kau harapkan.

Apakah aku pernah meninggalkanmu? Katakan saja iya. Tetapi aku tidak akan pernah melupakanmu…
Hai Cinta, Apa warnamu hari ini?

Gudeg Terakhir


Satu kali makan saja ku telah bisa, cintai kamu di hatiku
Namun bagiku, melupakanmu butuh waktuku seumur hidup…
Alasan orang bangun pagi macam-macam. Antar anak ke sekolah, bekerja ke kantor, belanja ke pasar, macam-macamlah. Alasanku bangun pagi, aku mau makan gudeg (jangan lupa berdoa, nanti gudegnya jadi aspal).

Kata orang Gudeg Yu Susi enak, ada juga Gudeg Mbak Courtney lebih enak, ah kata orang banyaklah yang enak. Namanya juga kota gudeg, kemana-mana yang ada berjuta penjual gudeg. Jangan salah, yang aku sebut ini bukan gudeg sembarang gudeg. Ini adalah satu-satunya gudeg yang bisa aku makan. Kelebihannya cuma satu saja…. Pedas.

senang melihat orang kepedasan
Penjualnya seorang ibu lanjut usia…atau aku ingin mendramatisirnya menjadi ibu sangat lanjut usia. Saat ini dia berusia lebih dari tujuh puluh tahun dan sudah duduk disitu tanpa alas selama tiga puluh tahun untuk jual gudeg di pagi hari. Aku tak pernah bertanya namanya, bagiku namanya sama rahasianya dengan rasa gudeg ini yang tak pernah berubah. Jadi kita namakan saja Gudeg Ibu Tua Keren Tak Kenal Lelah. Soal rasa, jawabannya jika aku bertanya apa rahasia gudegnya yang laris manis itu hanya satu…
Rasa gudeg itu sama saja dengan gudeg yang ada dimana-mana, tetep nangka. Yang bikin laris itu ya rahasia Tuhan. Tuhan yang memberi rejeki.”

Aku hanya bisa garuk-garuk kepala. Selain karena aku selalu beli gudeg sebelum mandi, juga karena aku heran karena kata-kata sederhana seorang wanita yang telah menjanda selama tiga puluh tahun itu mampu mengungkapkan satu rahasia hidup…. Rendah hati.

Pagi ini aku juga makan gudeg. Tidak perlu bangun pagi-pagi karena memang belum tertidur barang sedikit. Perut yang keroncongan sehabis berbenah membuatku makan gudeg itu tanpa sedikit sabar di tengah tumpukkan barang ini. Aku berhenti sejenak. Ini adalah kali terakhir aku makan gudeg ini. Besok aku akan bangun pagi di tempat yang berbeda di barat sana. Aku sedikit sesak. Sisa kekecewaan yang membuat aku beranjak dari tempat ini masih tersisa, apalagi ketika aku sadar aku tidak akan lagi bisa menikmati sarapan indahku ini. Aku pernah memakannya bersama dengan keindahan pagi hari, aku pernah memakannya dengan tawa dan canda bersama orang-orang yang aku kasihi, aku pernah memakannya dengan penuh syukur setelah semalaman bergelut dengan bermacam tugas, aku juga pernah memakannya sambil menangis saat aplikasi yang ku buat susah payah rusak pagi itu, bahkan aku pernah berpikir bahwa hal terindah yang pernah kurasakan selama tinggal ditempat ini adalah makan gudeg ini di pagi hari.

Dahsyat….. seketika aku tersentak. Amboi, bukankah inilah kali terakhir aku makan gudeg ini? Tidak akan ada lagi hari lain aku memakannya. Aku ingin melakukan sesuatu. Sisa gudeg itu kuhabiskan dengan keji, kuremas kertas pembungkus dan meraih pocket kamera di tas ku. Dengan cepat saja aku berpikir ingin mengabadikan suatu moment dengan gudeg favoritku ini tanpa perlu minum lagi. Aku takut orang akan mulai ramai memenuhi tempat itu setelah pukul enam. Aku berlari…
Aku terengah di depan ibu tua itu. “Ono opo e cah ayu?”
Aku tak bisa menjawab. Sial…sial, aku ternyata menggigit cabe rawit krecek di dalam nasi gudeg tadi bulat-bulat.



My Precious Cup

Aku membungkus burung kecil yang mati itu dengan perlahan. Sungguh burung itu masih sangat muda, kalau aku tidak berhati-hati bisa-bisa aku memecahkan perutnya yang setipis gelembung sabun.
Aku menemukan burung ini saat pamanku membersihkan halaman belakang rumahnya. Mungkin karena guncangan yang dahsyat terjadi saat pamanku menebas sebagian ranting pohon rambutan itu, terjatuhlah sarang beserta seekor anak burung ini.

Aku meminta pamanku untuk merawat burung itu, namun paman sepertinya tidak tertarik dan mempercayakannya padaku. Aku sih tidak berkeberatan, toh aku tidak sibuk.

Aku  memberinya makan berupa tepung beras yang kucampur dengan sedikit air sehingga menjadi gumpalan-gumpalan. Masalahnya bagaimana caranya membuka mulut Si Anak burung nan mungil ini? Bukan aku kalau tak cerdas. Kubiarkan burung itu tidur lalu aku mengagetkan dengan cara mengguncang kaleng susu bekas yang kujadikan tempat persemayamannya. Lalu burung mungil itu akan bangun dan berteriak ”Akkkk…akkkk…akkk.” serta merta aku akan menjejalkan gumpalan tepung beras yang kucuil dengan ujung korek api.

Singkat cerita, robeklah bibirnya. Matilah dia.

Jadi, aku akan menguburkannya di belakang rumahku. Persis di atas parit yang menjadi pembuangan akhir banyak orang. Parit yang membatasi pekarangan belakang rumah pamanku dan dapurku. Ku beri tanda dengan palang salib kecil supaya aku tahu dimana kuburnya. Setiap hari aku akan menyempatkan diri berziarah karena aku merasa berdosa. Seiring berjalannya waktu, aku melupakan Si Burung Kecil.
Bukan karena aku menganggap kebiasaan itu adalah kebodohan, namun aku benar-benar sibuk. Waktu itu aku kelas satu es de, sekarang aku sudah es em a. Jelas?
* * *
Orang bilang lelaki muda itu datang dari Jakarta. Dia menginap di penginapan dekat rumahku, karena mama melihat sekilas kulitnya yang oriental mama jadi sangat ingin tahu siapa lelaki itu.

Usut punya usut, lelaki itu memiliki latar belakang yang sama denganku. Dia juga sebenarnya produk Lebong yang melanjutkan kehidupannya di kota lain, kota Jakarta. Kakek neneknya lah yang dahulu tinggal di Lebong, sebenarnya dia juga sempat menghabiskan masa kecil di kota ini namun beranjak remaja sepeninggalan ibunya, ayahnya memboyongnya ke kota lain itu.

Kata mamaku, pasti bukan tanpa alasan jika dia datang  kemari seorang diri. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan, kebetulan mama kenal baik dengan keluarga besarnya dahulu. Mama dan papa akhirnya punya kesempatan untuk menyapa lelaki itu dan mengingatkannya kembali siapa kami. Lelaki itu tersenyum. Bagiku itu senyum kelegaan karena akhirnya ada juga orang yang masih mengenalnya di tempat seperti ini setelah beberapa hari bergumul sendiri.

Dia bercerita kalau bapaknya sudah meninggal di Jakarta. Dia pun sudah menikah. Namun ada satu hal yang mengganjal batinnya. Dia tidak tahu dimana ibunya dibaringkan. Atas izin istrinya, dia mulai mencarinya kembali selama beberapa hari ini. Malangnya, pekuburan Belanda yang ada di dataran tinggi tempat ibunya dimakamkan itu sudah tertutup ilalang. Saat dia membayar orang kampung setempat untuk menebas ilalang itu, dia semakin terpuruk. Semua kubur yang tampak, telah rata dengan tanah. Tak berbekas. Air mata menetes dari pelupuk matanya yang melingkar hitam itu saat menceritakannya pada orang tuaku.
* * *
Keluarga besar lelaki itu adalah keluarga terkaya pada zamannya di seantero kota. Seperti kebanyakan kasus yang kita lihat di film-film, nasib gadis muda yang menikahi anak orang kaya hanyalah berakhir di dapur dan pengabdian panjang sebagai istri yang kawin, beranak, mati. Itu juga yang dirasakan oleh ibu lelaki ini. Mungkin setumpuk penyesalan yang membuncah-buncahlah yang ada di dalam dada lelaki ini. Penyesalan untuk seorang ibu yang tidak bisa dia bahagiakan hidupnya. Sewaktu remaja, lelaki ini menjadi seorang anak yang “salah didikan”, bagaimana kesalahan itu terjadi, kita tidak mengetahuinya. Itu adalah sebuah proses yang dialaminya sendiri.

Bengal, nakal, bebal, entah apalagi kata yang ingin orang-orang ucapkan lewat pandangan mata mereka terhadap lelaki ini. Ukurannya bahkan tak diketahui lagi. Pokoknya begitu berat hingga mampu mencabut nyawa ibunya dengan tekanan darah yang tinggi. Belum lagi lelah karena tak ada perbedaan status antara pembantu dan istri.

Tetapi tak sedikitpun peristiwa itu membekas dalam dirinya yang berjiwa bebas kala itu. Tak sedikit pun dia ingin mengambil beban untuk kejadian itu. Tidak saat itu.

Namun tanpa dia sadari ibunyalah cangkir-cangkir yang dia reguk setiap hari, entah bagaimanapun rasanya. Dan saat ini balasan datang pada waktunya (ah, bukan balasan. Hanyalah pergantian peran), dialah yang menjadi cangkir-cangkir itu. Saat dia sendiri sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang akan meminum dari cangkirnya setiap hari. Dia merasakan apa yang ibunya rasakan.
* * *
Apa gunanya mencari orang yang tak bisa dicari? Sampai menangis darahpun tak dapat lagi ditemui. Namun tetap saja setiap orang yang menyesal berusaha melakukan sesuatu yang “tak berguna” untuk melegakan dirinya sendiri.

Dalam beberapa hari itu akhirnya dapat ditemukan apa yang lelaki ini cari, makam ibunya. Katakan saja begitu, toh tidak ada yang tahu debu siapa yang tertanam di bawah sana.

Jika dengan merenovasi kembali onggokan tanah itu bisa menenangkan orang yang masih hidup, baiklah itu dilakukan saja. Tidak ada salahnya. Jauh di dalam hati, semua manusia yang berpikir—termasuk lelaki ini mungkin—merasa semua tetap sia-sia saja.

Burung yang sebegitu kecil dan “tak bernilai” dibanding manusia saja dirawat dan dijaga. Matipun kuburnya berharga. Lebih dari itu seorang ibu seharusnya bagi kita. Dialah cangkir-cangkir yang isinya ingin kau reguk setiap hari. Berhati-hatilah dengan cangkirmu.

Oh, God. Apa yang sudah kutulis ini? Apakah karena aku sudah melakukan hal-hal yang besar untuk orang tuaku? Mungkin belum. Aku hanya menulis ini karena sedang mengingat beliau. Merindukan juga. Saat ini aku menghitung detik-detik awal 18 September 2009. Aku berterima kasih Tuhan telah membuatnya hadir enam puluh tahun yang lalu. Membuatku begini apa adanya, tak pernah memaksaku dalam hal apapun.
7728_1146377894439_1077289364_392504_3023652_n
Selamat Ulang Tahun, Mama. Dirimu adalah cangkirku yang paling berharga. I Love You.