Pages

19 November 2012

Sang Nyonya yang Menggenggam Coklat



Aku sedang membaca kembali salah satu status facebook-ku yang ku tulis 3 tahun yang lalu. Aku tersenyum dan berderai tawa.  Kalimat itu adalah suatu ungkapan hati, dalam hal ini bukan hati yang marah tetapi hati yang bertanya-tanya. Aku mengetik status itu dengan jemari ringan karena kurang tidur. Sementara, aroma sayuran dan ayam mentah yang mulai membusuk di bawah meja tivi-ku menggoda terbawa angin.  Memang sudah disitu semalaman karena kompor gas rusak, sudah aku tanyakan kapan diperbaiki, tetapi tidak ada jawaban. Biarkan saja pikirku. Jawaban itu sebenarnya aku butuhkan hanya untuk membuat keputusan apakah sayuran itu harus dibuang atau tidak. Sudah membau seperti ini sekarang, jadi jawabannya sudah sangat jelas. Dibuang.


Entah apa yang  terjadi dan entah bagaimana hal itu terjadi. Aku, pada saat yang bersamaan juga harus bernasib sama dengan sayur itu. Aku harus “dibuang”. Secarik teks yang kuterima via ponsel itu yang menyatakannya. Lalu aku bertanya “mengapa?”, jawabnya “tidak perlu ada penjelasan, sadar diri saja. Ngakunya anak Tuhan, tapi bikin ricuh”. Aku berpikir keras mencari jawabannya, satu-satunya pengait yang mungkin dengan pengusiran ini adalah pertanyaanku tentang kompor gas itu yang mungkin dibaca pada saat penerimanya sedang marah, mungkin juga sedang sedih, mungkin juga sedang merasa terancam sehingga memberi intonasi suka-suka saat membacanya. Aku tak tahu.


Ga perlu banyak tanya, mau salah mau bener pokoknya kamu KELUAR!! (prinsip no.1 hati yang rabun) -Facebook, October 20, 2009-


Well, itulah status facebook-ku. Pikiranku yang melayang telah mendarat saat tombol POST itu kutekan. Aku tak mau mengubur diri dengan kompor gas itu. Jika hal semacam ini harus terjadi di saat-saat akhir menuju pendadaranku, maka terjadilah. Blessing in disguise! Sure! Segera kukirim pesan pada malaikat murah senyumku, Dewi, “Sista, pick me up please. We are going to find another side of heaven”. Dibalasnya dengan cepat, “I am on the way”.



***


Rumah itu seperti tertimbun oleh Anthurium yang daunnya bak digosok satu persatu dengan minyak. Senyum ramah nyonya rumah dengan hot pant dan tank topnya membuatku lebih merasa nyaman. Kulihat juga ada salib terpasang di dinding putih ruang tamu yang hangat itu. Aku dan Dewi terus mengikuti Sang Nyonya bertelanjang kaki menelusuri rumahnya yang bersih hingga sampai pada suatu kamar kosong yang sederhana di lantai dua. Aku sudah merasa nyaman. “Bu, saya membutuhkan kamar hanya untuk tiga sampai empat bulan hingga pendadaran dan....saya tidak punya uang untuk membayar sekaligus. Saya menyukai ini semua dan jika Ibu berkenan membiarkan saya membayar per bulan, Puji Tuhan”. Meski ramah, tak ada kesan bahwa aku akan mendapat keringanan. Namun beliau menjawab dengan ringan, “Jangan persoalkan itu, tidak baik. Jika kamu senang di sini maka bayarlah kapan saja.”


Sang Nyonya ini sangat berbeda. Dia adalah orang yang mampu mengerjakan berbagai hal sendiri dan sangat cekatan seolah tak pernah lelah. Dia bukan orang yang beraktivitas karena mencari uang, tetapi karena sangat suka bekerja. Katering, souvenir pernikahan, dan sebagainya dilakukan sendirian dengan kebersihan luar biasa. Berbagai juice ada di kulkas, jika mau minum saja, uangnya bisa letakkan di bawah taplak kulkas, kembaliannya ambil sendiri. Kadang-kadang dia meminta maaf untuk asap rokoknya saat aku menjumpainya sedang santai di dapur. Dan jangan coba-coba meminta maaf jika terlambat membayar sewa kamar, “Huss, jangan persoalkan itu, tidak baik. Ibu bukan tuan tanah yang kejar-kejar kamu untuk bayar.” Tegasnya. Ya Bu, tentu. Aku mungkin masih akan terlambat membayar lain kali tapi tak akan mengulangi permintaan maaf itu dua kali, kau sangat baik hati.


Peluk dan cium kudapatkan dari Sang Nyonya-baik-hati. Setelah tiga bulan tinggal di kedamaian rumahnya, aku telah lulus pendadaran dan dia sangat senang mendengarkan berita itu. Dia mencari-cari sesuatu dan menemukan dua batang Silverqueen untuk diselipkannya di tanganku. Hingga hari ini aku mengingatnya lagi, aku masih merasakan tanganku menggenggam coklat itu dengan sedih. Ya, sedih. Aku sedih karena mengingat kembali “kompor gas” beberapa bulan yang lalu.


Berbagai peristiwa sedih memang tidak memilih tempat, waktu, dan pelaku. Namun aku berprasangka bahwa kasihpun juga tidak memilih tempat, waktu dan pelaku. Semuanya itu pilihan setiap orang. Siapapun bisa memilih untuk menerjemahkannya dengan positif namun mereka juga punya pilihan yang sama besarnya untuk menerjemahkannya dengan amarah. Siapapun bisa mengatakan Tuhan mereka baik, Tuhan itu penuh kasih, and more. Dan refleksi mereka itu mereka tulis dimana-mana, di facebook, di twitter, bahkan di mimbar! Tak menyadari bahwa itu semua pseudo-event! Sang Nyonya yang menyibukkan dirinya sedemikian rupa ini tidak mempunyai waktu untuk itu semua, namun dalam kata-katanya dan dalam perbuatanya semua itu nyata. Senyata dan sejernih permukaan Anthurium yang merimbun.


“Manusia selalu mencari kambing hitam untuk kesalahan yang dibuatnya, mereka seringkali membenarkan segala yang dilakukan demi harga diri sekalipun harus mengorbankan sesamanya.”


Kubaca kalimat itu dengan seksama. Seorang kawan menuliskannya. Yap, kau benar sekali kawan. Kadang dalam nyala api yang terang benderang manusia masih punya bagian gelap dari dirinya yang cukup untuk menghitamkan kambing-kambing. Jika sedang merenung dan memikirkannya, semoga kiranya manusia mau memikirkan kambing-kambing yang menghitam ditangannya dan tak mengulanginya lagi.


Dibalik semua kesedihan, ada kalanya tanda tanya itu tidak berguna. Biarkan saja membusuk dibelakang dan dibuang bersamaan dengan waktu. Semua orang bisa mengusirmu, tapi tidak ada yang bisa mengusir kebaikan di dalam hatimu karena memang tidak berada di dalam kendali siapapun. Percayalah, ada banyak “Sang Nyonya yang menggenggam coklat” dan dia mau memberikanmu kebahagiaan demi kebahagiaan di depan sana.


8 June 2012

Kosong


Aku katakan pada Elang Tua,
“Aku tiba pada perjalanan yang lain, sekarang akan kuantarkan Elang  yang terkuat di Timur menuju singgasananya”

Elang Tua menangis terharu bahagia,
“Bahwasanya itulah yang ingin kudengar saat aku masih menghirup udara” ujarnya.
“Sebab itu luruskanlah hatimu jangan bercabang sedikitpun juga, supaya janganlah engkau terlalu bersusah di bawah matahari karenanya,” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum dan kukatakan pada Elang Tua,
“Dengan darah dan doa”
Aku katakan itu dengan bangga, biarlah Elang Tua berbahagia tanpa perlu tahu bahwa hati ini belum terkembang, hati ini menciut dengan takutnya. Kosong.


Jakarta, 9 Juni 2012

24 January 2012

Elang dari Utara


I used to hold u like this

Engkau adalah Elang dari Utara
Engkau raja yang bermahkota, bukan lagi dengan pisau bermata empat, bukan lagi dengan tanah dan ombak.
Engkau datang dari yang terbesar, engkau datang dari yang paling berani. Bukan lagi dengan patung-patung, bukan lagi dengan bual sumur.
Wahai Elang dari Utara, kemana saja engkau telah terbang?
Sampaikah engkau ke timur? Sejauh Seram, ke pulau-pulau?
Sampaikah Engkau ke Selatan? Sejauh hutan, lubang-lubang tambang?
Sampaikah Engkau  pada wanitamu? Sejauh usia, pengabdian terbesar?
Engkau adalah Elang dari Utara
Telah menua dan telah melemah, bukan lagi dengan tenaga dan usia namun lihatlah apa yang kulihat darimu Sang Elang Seribu Hikmat, engkau adalah terangku, engkau adalah buku sejarahku yang dituliskan dan dibacakan setiap hari oleh kerasnya gema cinta

Gelap telah datang menghampiri kita di tanah asing.
Kitalah keramaian ditengah keramaian, namun ada sepi saat mataku melihat matamu yang telah lelah karena usia.
Bertahun lalu saat aku meninggalkanmu di bawah sana sementara aku terbang menjauh, saat itu engkau adalah Elang yang telah lama membawa makanan ke sarang, lalu engkau berhadapan pada kenyataan bahwa bayi Elang telah sanggup terbang keluar.
Dalam detik aku akan meninggalkanmu disini, sama persis seperti saat itu.
Hanya waktu dan ruang yang akan mengabadikan perpisahan kita.
Hanya sekuat laju roda-roda yang bertautan panjang.

Sancaka siap menelanku untuk meliuk melintasi tanah asing sampai esok ia akan memuntahkanku di ujung sana, jauh dari kepakmu.
Kali inipun kau tidak akan berkuasa untuk melepaskanku dari cengkeraman si ular hitam dengan cakarmu yang masih kokoh, dan kau berkutat dengan pikirmu sampai kau memelukku dan berbisik:
Jika tiba waktunya kau memang harus berjalan sendiri, berjalan kuat seperti yang sudah saya lakukan
Tak kurang tak lebih dan airmataku menetes, mual, bertahan di perut Si Ular.

(Jakarta, 24-01-2012 - Blackout, in a minute to low battery, missing my dad and his story)