Pages

26 April 2011

Nona G

Usiaku sekarang 24 tahun, jadi Aku tahu pasti bahwa Aku bisa berpikir sangat rasional saat mengatakan jawabanku untuk pertanyaan “Apakah dia itu?”. Aku sendiri bingung, bagaimana mungkin Aku bisa memaksa orang lain untuk mengakui bahwa Aku sangat rasional dalam menjawab pertanyaan itu. Sementara orang tertawa hanya dengan melihat pertanyaannya saja.

“Apakah dia itu?”, sungguh mendiang guru bahasaku yang pernah Aku ceritakan padamu sebelum ini pasti akan mengernyitkan keningnya dan membaca kalimat tanya itu dua kali sebelum menarik nafas panjang karena keheranan. Kita sepakat dulu bahwa kata apakah itu adalah kata tanya yang akan kita gunakan untuk menanyakan tentang banyak hal misalnya situasi. Pokoknya kita tidak akan menggunakannya untuk merujuk pada profil seseorang. Lalu sebaliknya kita sepakati juga bahwa kata dia adalah kata ganti orang ketiga tunggal yang tidak akan kita pakai untuk merujuk pada hewan atau benda mati, selalu merujuk pada profil seseorang. Nah, tiba-tiba Aku dengan segala percaya diri menggabungkannya menjadi “Apakah dia itu?”. Bolehlah kau tertawa,  dan setelah Aku menceritakan asal muasal kalimat tanya itu kau putuskan saja apakah masih ingin tertawa.

“Apakah dia itu?”. Aku bilang bahwa dia itu hantu. Jika di dalam otakmu ada semacam teori yang mengatakan bahwa hantu itu adalah mahluk hidup sehingga tak pantas memakai kata Apakah, maka sampai disini sajalah kita sepakat. Lalu Aku tahu kau akan tertawa lebih keras karena menganggapku tolol untuk tetap menggunakan kata dia sementara Aku sendiri melabelkan hantu itu bukan sebagai mahluk hidup. Untuk hal itu Aku tak punya pilihan, sebab dia muncul didepanku sebagai seseorang bukan sesuatu.


Ada kondisi lain yaitu kau justru berpendapat sama untuk perkara  teknisnya bahwa hantu itu bukan mahluk hidup namun mengatakan bahwa secara praktis hantu itu tidak ada, maka sampai disini saja juga kita sepakat. Walaupun begitu, jujur Aku sangat ingin meyakinkanmu bahwa Aku sungguh-sungguh mengatakannya…hantu itu ada, dan Aku melihatnya.

Nina itu hanya lebih tua lima menit dariku, dia menjulurkan kepalanya lebih dulu ke dunia ini sementara ibuku harus pasrah saat Aku harus datang belakangan dengan kaki terlebih dulu. Dalam banyak hal Aku bisa tak sepakat dengan Nina, tapi dalam hal yang satu ini seratus persen Nina sangat setuju denganku. Hanya Aku dan Nina yang bisa melihatnya.

Aku tidak berniat untuk menakut-nakuti, aku hanya ingin bercerita saja. Sekarang ini hantu memang banyak dijadikan objek untuk menarik hati pembaca atau penonton. Film-film ber-genre horor mulai dari yang murahan sampai yang paling classy (memang ada hantu classy?), bahkan sekarang sampai ada Reality Show nya…ckckck…ya mungkin memang seperti itu yang lebih bisa kita nikmati sekarang dibanding berita-berita korupsi yang tidak kunjung tamat, beda dengan film horor atau pertunjukkan horor yang pemain atau cenayangnya selalu menang. Sewaktu menulis kata murahan aku sih tidak bermaksud mendiskreditkan siapa-siapa, maksudku hanyalah film atau bacaan yang mengumbar isi perut untuk keluar saja (hantu saja bisa tersinggung melihatnya). Sungguh, aku hanya ingin bercerita apa yang pernah aku alami. Semuanya sangat nyata, tapi kau boleh percaya bolehlah juga tidak. Tidak usahlah kita berdebat.

***
Rumah sewaan kami itu tergolong kuno. Batu penyangganya ada dua belas. Tidak begitu tinggi, cukup hanya tiga anak tangga untuk menaiki rumah. Akupun cukup merundukkan kepala untuk bisa berjalan dibawahnya. Kau bisa bayangkan, kolong rumahku membentuk sebuah ruang. Pada zaman itu orang memang biasa menyimpan ternak disana. Orang tuaku tidak menyimpan ternak, jadi tidak akan menemukan apa-apa selain berbagai macam kelas Arachnid dan kalau sial bisa juga Ular atau Biawak. Meskipun begitu kami tidak pernah merasa takut jika harus masuk kesana demi mengambil uang koin atau boneka kertas (tak pernah Aku punya boneka Barbie) yang kerap jatuh dari sela-sela lantai papan yang bolong karena uzur.

Siang itu kamipun masuk kebawah kolong rumah, kami masuk dari sisi kanan rumah itu untuk mengambil koin dua puluh lima rupiah (tak pernah Aku punya lebih dari itu) yang jatuh. Ya, seketika Aku takjub. Ada seseorang disisi rumah sebelah sana, Aku melihatnya lebih tepatnya Aku melihat kakinya yang indah mulai dari tapak kaki hingga sedikit lutut. Dia sedang mencuci kaki dari tong yang ada disamping tangga naik ke rumah kami, memakai sendal merah. Tak usah pikir panjang Aku tahu itu adalah kaki perempuan muda yang berkulit sangat putih. Aku menggamit Nina dan bertanya mungkin dia tahu itu siapa tetapi Nina hanya mengedikkan bahu dengan tampang sama bengongnya. Lalu sosok itu melambaikan tangannya ke arah kami, mungkin dia berjongkok untuk melakukan gerakan itu tapi kami tetap tidak melihat wajahnya dan telingaku juga mendengar ajakannya untuk mendekat. Aku menoleh pada Nina, dia pun menatapku untuk sebuah persetujuan. “Tidak, Mama tidak mengizinkan kita mendekati orang asing yang tidak kita kenal” kataku.
Meski Aku berkata begitu, ada gejolak yang besar untuk mengetahui wajahnya. Kami keluar dari kolong dan memutuskan untuk berjalan memutar ke sisi kiri rumah melalui halaman belakang, kami tidak akan mengambil resiko bertemu keluarga besar Arachnid jika nekat pergi kesana dengan mengendap-ngendap di kolong.

Seketika Aku terkesiap, tidak ada siapapun disana. Lebih dari itu, nalarku baru saja menyadari bahwa tidak ada tangga naik ke rumahku dari sisi kiri itu. Tong air yang dipakainya untuk mencuci kaki itupun tidak ada dasarnya, hanyalah tempat pembakaran sampah. Hanya ada satu jendela disisi kiri ini, persis ditempat kami melihat kaki seseorang tadi. Lambat-lambat Nina berbisik ditelingAku “Itukan jendela dari gudang kita…”.
Tidak hanya saat itu saja Aku dan Nina melihatnya.

Banyak kesempatan lagi kami melihatnya lagi tetapi tidak sekalipun ketika kami ada disisi kiri rumah itu, hanya dari sisi yang bersebrangan ditambah sedikit rundukkan kepala. Ya, dari kolong itu…dan sampai saat ini juga kami tidak pernah melihat wajahnya. Terkadang dia duduk sendiri ditangga itu, terkadang juga dia menerima banyak tamu dan mereka akan tertawa-tawa riuh rendah. Jika dia sedang menerima banyak tamu maka kami akan melihat berpasang sendal lain di bawah tangga itu. Ada satu kebiasaan yang selalu mereka lakukan sebelum naik ke rumah, yaitu mencuci kaki dari tong pembakaran sampah itu…tentu saja dari sini terlihat banyak airnya.

Oh ya, kau mau tahu apa panggilan kami untuknya? Dia kami sebut Nona. Salah satu penyebabnya karena kakinya sangat putih, sama persis dengan kaki nona Belanda yang sedang menenteng ember susu di kepalanya. Perempuan itu ada di kaleng susu kental manis favorit kami, MilkMaid. Aku agak lupa apakah dulu di kaleng susu itu ada tulisan “Cap Nona” atau tidak yang pasti di daerahku orang me-metafora-kan susu itu dengan gambar dikalengnya. Tadi kubilang itu salah satu penyebabnya kan? Nah, salah duanya, karena teman-temannya yang biasa bertandang itu memanggilnya Nona. Entah itu kebetulan atau tidak.

***

Aku dan Nina punya banyak macam permainan murahan yang bisa kami mainkan. Aku bilang murahan karena memang bukan mainan yang mau dimainkan anak-anak zaman sekarang. Salah satunya adalah permainan yang kami sebut “Kucing-kucing”. Aku kesulitan menemukan istilah yang lebih dikenal untuk permainan ini. Ada daerah yang menamakannya “Bola Bekel” (lafalkan huruf e  yang pertama seperti pada kata seng dan lafalkan huruf e yang kedua seperti pada kata selasa).

          Perbedaannya, biji bekel itu terbuat dari kuningan yang berbentuk seperti siluet Bebek sementara yang biasa kami pakai adalah bekas cangkang kerang Cypraea moneta yang kecil-kecil. Permainan ini hanya membutuhkan 12 biji kerang dan satu bola tenis. Kau genggam biji kerang itu dengan satu telapak tangan dengan bola tenis di atasnya. Untalkan bola tenis itu ke atas pelan-pelan dan serakkan perlahan biji kerangnya, lalu kau harus menangkap kembali bola itu sebelum menyentuh tanah. Langkah berikutnya kau untalkan lagi bola itu dan harus memungut kembali biji kerang itu satu persatu. Putaran pertama hanya satu biji kerang untuk satu untalan, hati-hati jangan sampai bolanya menyentuh tanah. Jika kedua belas biji kerang itu sudah berada dalam genggamanmu maka kau harus menyerakkannya kembali  untuk putaran kedua dan disini harus dua biji kerang untuk satu untalan. Demikianlah seterusnya hingga putaran akhir dimana kau harus meraih kedua belas biji kerang itu dalam satu untalan. Jika bola tidak tertangkap atau ada biji kerang yang jatuh dari genggaman, maka lawanmu yang akan mendapat kesempatan bermain. Siapa yang pertama menyelesaikan putaran akhir dialah yang menang.

Siang itu Aku dan Nina memainkannya, aku yang sedang mendapat giliran. Hati-hati sekali aku melakukannya hingga aku terus bermain hingga putaran ke tujuh. Memasuki putaran kedelapan, aku melihat sekilas sebuah tangan putih Nona melemparkan sesuatu ke arah kami. Aku tidak tahu apa yang dia lemparkan hingga saat Nina tertawa karena ada satu kerang yang terlontar jatuh. Aku bersikeras itu bukan kesalahanku dan mengajak Nina menghitung kerang digenggamanku. Ada 12 kerang…dan ada satu lagi di lantai.

Rasa penasaran itu kian bergejolak, siapa sih yang tidak ingin melihat wajah pemilik kaki dan tangan yang putih mulus itu? Tapi kami tidak pernah berhasil. Setiap kali Papa membersihkan gudang itu yang kami lihat hanyalah ranjang reot, lemari kayu yang telah berbubuk, kursi bobrok, kasur kapuk yang bau karena rembesan air hujan dari atap yang bocor, dan benda-benda lain yang tidak lagi berguna.
***
Itu semua terjadi dua puluh tahun yang lalu. Beranjak remaja Aku dan Nina tidak  lagi melihatnya, bahkan kami sudah pindah dari rumah itu. Sekarang rumah itu sudah direnovasi, tidak lagi ada kolongnya. Walaupun begitu, saat terakhir masuk kesana sebagai tamu aku terheran juga demi melihat semua bagian rumah sudah direnovasi kecuali kamar itu. Dindingnya masih yang dulu, hanya sekarang tidak lagi  berstatus gudang. Sudah dijadikan kamar tidur keluarga.

Papa dan Mama hanya tercenung mendengar ceritaku dan Nina, sesekali terlihat Papa manggut-manggut kecil. Mungkin saja Dia pun sedang mengaitkan berjuta neuron yang menghubungkannya ke masa yang sama. Akhirnya Dia berkata pada Mama, “Ma, siapa nama menantu muda pemilik rumah itu dulu yang konon katanya mati tewas?”. Mama menjawab pelan, “Nona.”
***
Apakah karena kecantikanku, sayang? Alamat aku dipinang
Apakah karena kebaikanku, sayang? Alamat kita disandingkan
Apakah karena kebodohanku, sayang? Alamat aku dibinasakan
Aku masih duduk disini, di tempatku selalu berada
Meski malam melabur pelan dan waktu berpendar buram
Aku masih disini, di tempatku menanti alasan
Aku masih sendiri, dan kau masih saja belum datang

Mereka sering datang, sayang
Mengisahkan indahnya cinta…
Apakah cinta itu, sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?
Cinta belum pernah kudengar, yang kudengar adalah tangisanku dalam diam
Cinta belum pernah kurasakan, yang kurasakan hanya berat nafasmu dalam dekapan menyakitkan malam-malam panjang
Apakah itu cinta sayang? Kemanakah ia pergi? Pernahkah ia datang?



Jawablah aku, sayang…
Aku masih disini, menantimu ditengah ketakutan
Ketakutan yang belum sempat kau redam



Jawablah…

No comments:

Post a Comment