Pages

26 April 2011

My Precious Cup

Aku membungkus burung kecil yang mati itu dengan perlahan. Sungguh burung itu masih sangat muda, kalau aku tidak berhati-hati bisa-bisa aku memecahkan perutnya yang setipis gelembung sabun.
Aku menemukan burung ini saat pamanku membersihkan halaman belakang rumahnya. Mungkin karena guncangan yang dahsyat terjadi saat pamanku menebas sebagian ranting pohon rambutan itu, terjatuhlah sarang beserta seekor anak burung ini.

Aku meminta pamanku untuk merawat burung itu, namun paman sepertinya tidak tertarik dan mempercayakannya padaku. Aku sih tidak berkeberatan, toh aku tidak sibuk.

Aku  memberinya makan berupa tepung beras yang kucampur dengan sedikit air sehingga menjadi gumpalan-gumpalan. Masalahnya bagaimana caranya membuka mulut Si Anak burung nan mungil ini? Bukan aku kalau tak cerdas. Kubiarkan burung itu tidur lalu aku mengagetkan dengan cara mengguncang kaleng susu bekas yang kujadikan tempat persemayamannya. Lalu burung mungil itu akan bangun dan berteriak ”Akkkk…akkkk…akkk.” serta merta aku akan menjejalkan gumpalan tepung beras yang kucuil dengan ujung korek api.

Singkat cerita, robeklah bibirnya. Matilah dia.

Jadi, aku akan menguburkannya di belakang rumahku. Persis di atas parit yang menjadi pembuangan akhir banyak orang. Parit yang membatasi pekarangan belakang rumah pamanku dan dapurku. Ku beri tanda dengan palang salib kecil supaya aku tahu dimana kuburnya. Setiap hari aku akan menyempatkan diri berziarah karena aku merasa berdosa. Seiring berjalannya waktu, aku melupakan Si Burung Kecil.
Bukan karena aku menganggap kebiasaan itu adalah kebodohan, namun aku benar-benar sibuk. Waktu itu aku kelas satu es de, sekarang aku sudah es em a. Jelas?
* * *
Orang bilang lelaki muda itu datang dari Jakarta. Dia menginap di penginapan dekat rumahku, karena mama melihat sekilas kulitnya yang oriental mama jadi sangat ingin tahu siapa lelaki itu.

Usut punya usut, lelaki itu memiliki latar belakang yang sama denganku. Dia juga sebenarnya produk Lebong yang melanjutkan kehidupannya di kota lain, kota Jakarta. Kakek neneknya lah yang dahulu tinggal di Lebong, sebenarnya dia juga sempat menghabiskan masa kecil di kota ini namun beranjak remaja sepeninggalan ibunya, ayahnya memboyongnya ke kota lain itu.

Kata mamaku, pasti bukan tanpa alasan jika dia datang  kemari seorang diri. Ada sesuatu yang ingin dia lakukan, kebetulan mama kenal baik dengan keluarga besarnya dahulu. Mama dan papa akhirnya punya kesempatan untuk menyapa lelaki itu dan mengingatkannya kembali siapa kami. Lelaki itu tersenyum. Bagiku itu senyum kelegaan karena akhirnya ada juga orang yang masih mengenalnya di tempat seperti ini setelah beberapa hari bergumul sendiri.

Dia bercerita kalau bapaknya sudah meninggal di Jakarta. Dia pun sudah menikah. Namun ada satu hal yang mengganjal batinnya. Dia tidak tahu dimana ibunya dibaringkan. Atas izin istrinya, dia mulai mencarinya kembali selama beberapa hari ini. Malangnya, pekuburan Belanda yang ada di dataran tinggi tempat ibunya dimakamkan itu sudah tertutup ilalang. Saat dia membayar orang kampung setempat untuk menebas ilalang itu, dia semakin terpuruk. Semua kubur yang tampak, telah rata dengan tanah. Tak berbekas. Air mata menetes dari pelupuk matanya yang melingkar hitam itu saat menceritakannya pada orang tuaku.
* * *
Keluarga besar lelaki itu adalah keluarga terkaya pada zamannya di seantero kota. Seperti kebanyakan kasus yang kita lihat di film-film, nasib gadis muda yang menikahi anak orang kaya hanyalah berakhir di dapur dan pengabdian panjang sebagai istri yang kawin, beranak, mati. Itu juga yang dirasakan oleh ibu lelaki ini. Mungkin setumpuk penyesalan yang membuncah-buncahlah yang ada di dalam dada lelaki ini. Penyesalan untuk seorang ibu yang tidak bisa dia bahagiakan hidupnya. Sewaktu remaja, lelaki ini menjadi seorang anak yang “salah didikan”, bagaimana kesalahan itu terjadi, kita tidak mengetahuinya. Itu adalah sebuah proses yang dialaminya sendiri.

Bengal, nakal, bebal, entah apalagi kata yang ingin orang-orang ucapkan lewat pandangan mata mereka terhadap lelaki ini. Ukurannya bahkan tak diketahui lagi. Pokoknya begitu berat hingga mampu mencabut nyawa ibunya dengan tekanan darah yang tinggi. Belum lagi lelah karena tak ada perbedaan status antara pembantu dan istri.

Tetapi tak sedikitpun peristiwa itu membekas dalam dirinya yang berjiwa bebas kala itu. Tak sedikit pun dia ingin mengambil beban untuk kejadian itu. Tidak saat itu.

Namun tanpa dia sadari ibunyalah cangkir-cangkir yang dia reguk setiap hari, entah bagaimanapun rasanya. Dan saat ini balasan datang pada waktunya (ah, bukan balasan. Hanyalah pergantian peran), dialah yang menjadi cangkir-cangkir itu. Saat dia sendiri sudah berkeluarga dan mempunyai anak-anak yang akan meminum dari cangkirnya setiap hari. Dia merasakan apa yang ibunya rasakan.
* * *
Apa gunanya mencari orang yang tak bisa dicari? Sampai menangis darahpun tak dapat lagi ditemui. Namun tetap saja setiap orang yang menyesal berusaha melakukan sesuatu yang “tak berguna” untuk melegakan dirinya sendiri.

Dalam beberapa hari itu akhirnya dapat ditemukan apa yang lelaki ini cari, makam ibunya. Katakan saja begitu, toh tidak ada yang tahu debu siapa yang tertanam di bawah sana.

Jika dengan merenovasi kembali onggokan tanah itu bisa menenangkan orang yang masih hidup, baiklah itu dilakukan saja. Tidak ada salahnya. Jauh di dalam hati, semua manusia yang berpikir—termasuk lelaki ini mungkin—merasa semua tetap sia-sia saja.

Burung yang sebegitu kecil dan “tak bernilai” dibanding manusia saja dirawat dan dijaga. Matipun kuburnya berharga. Lebih dari itu seorang ibu seharusnya bagi kita. Dialah cangkir-cangkir yang isinya ingin kau reguk setiap hari. Berhati-hatilah dengan cangkirmu.

Oh, God. Apa yang sudah kutulis ini? Apakah karena aku sudah melakukan hal-hal yang besar untuk orang tuaku? Mungkin belum. Aku hanya menulis ini karena sedang mengingat beliau. Merindukan juga. Saat ini aku menghitung detik-detik awal 18 September 2009. Aku berterima kasih Tuhan telah membuatnya hadir enam puluh tahun yang lalu. Membuatku begini apa adanya, tak pernah memaksaku dalam hal apapun.
7728_1146377894439_1077289364_392504_3023652_n
Selamat Ulang Tahun, Mama. Dirimu adalah cangkirku yang paling berharga. I Love You.

2 comments: