Pages

26 April 2011

Perspektif

(Awal Januari)

Dari tadi senyum terkulum dibibir demi mendengar celotehan seorang kawan lama yang sedang mengeluarkan segala unek-uneknya tentang novel Indonesia yang baru saja booming belakangan ini.
Dia yang selalu mengatakan akan selalu berdiri di tengah-tengah untuk semua sikapku yang mungkin terlalu personal untuk dikomentari. Namun saat ini aku juga ingin mengatakan padanya bahwa aku sedang berdiri di tengah-tengah untuk opininya yang menonjolkan self-defence yang maha tinggi itu.
Puas mendengar dia berkata-kata, aku mencoba mencairkan suasana hatinya yang sedang mengazab penulis novel itu. Aku katakan padanya bahwa di dalam seni itu tidak ada yang mutlak. Cara berpikir setiap orang berbeda tergantung dari sudut mana ia memandang sesuatu. Dramatisasi adalah hal yang sangat wajar.
Lalu ku katakan padanya bahwa aku ingin melakukan semacam simulasi untuk menunjukkan perbedaan pola pikir. Aku meminta padanya untuk menuliskan satu paragraf singkat tentang sebuah objek. Objek itu adalah aku. Aku yang saat ini sedang berada di hadapannya, di layar monitornya. Silahkan dia berbicara tentang aku dan juga lingkungan tempat aku berada sekarang ini. Dia menyanggupi.
Aku berpikir secara biasa saja. Dalam bayanganku dia akan bercerita tentang aku yang saat ini terlihat sangat lelah, dengan latar belakang dinding berwarna pucat dan boneka-boneka berbagai binatang di belakangku. Aku berpikir dia akan menulis tentang aku yang saat ini–bagi siapapun yang melihat– seperti salah satu penghuni kebun binatang yang lelah sehabis sirkus. Apapun yang akan dia tulis bisa saja seperti itu. Sangat objektif.
setelah beberapa lama, kawanku itu mengirim balasan berupa sebuah paragraf singkat seperti yang aku minta dengan catatan “itu saja dulu, sedang tidak ada inspirasi”.
Aku membacanya, seperti ini:
Aku melihat mama sedari tadi memperhatikan aku sambil tersenyum-senyum. Aku yakin dia mengenal temanku yang sekarang sedang berada di layar monitorku. Tapi apa yang membuat dia tersenyum aku tidak tahu. Mama semakin mendekat ke layar monitorku. Dia tertawa melihat temanku, lalu melihat aku, melihat temanku lagi lalu melihat aku lagi. Aku diam saja, tidak mengerti apa yang Mama pikirkan. Aku kembali memandang layar monitorku lalu aku menatap diriku sendiri. Aku me lihat lagi ke monitor, lalu aku melihat Mama, kami tertawa bersama-sama. Aku baru menyadari apa yang dilihat oleh Mama, temanku ini memakai tanktop warna hitam, sama dengan singlet yang sedang aku pakai sekarang.
Aku tertawa terbahak. Ternyata sangat objektif.

No comments:

Post a Comment